Kisah fiktif tentang istana dan kemenangan politik
Oleh : Diana HA
MACAKATA.COM – Sejak terpilih sebagai kepala daerah secara independen, wajah Hana Suparna terus memancarkan senyum. Auranya bahagia. Kemenangan selalu membuat siapapun gembira dan timbul rasa puas. Tidak percuma modal besar ia keluarkan. Asalkan tujuan tercapai. Rasa lelah menguap seketika. Bukan saja modal uang. Tetapi waktu dan perjuangan untuk mendekati, melobi, hingga masyarakat mendukungnya, adalah perjuangan yang melelahkan. Menciptakan sinergitas seiya sekata, dalam politik merupakan hal yang abu-abu.
Namun itu semua tinggal sejarah. Tiga perempat penduduk di wilayahnya telah memilihnya. Dia dipercaya. Tanggungjawab amanah kini di pundaknya. Senyum nakal mulai mengembang cukup lama. Hana punya konsep sendiri untuk memulai kepemimpinannya. Ia tidak mau mengecewakan masyarakat.
“Saya harus buktikan bahwa saya mampu mengubah wilayah. Mampu melayani masyarakat dengan baik. Saya tidak akan korupsi sepeserpun. Itu janji saya yang harus ditepati.”
Hana kembali mengingat kampanyenya. Ia katakan itu sambil duduk di singgasananya yang baru. Tidak ada orang di ruangan itu. Ia hanya sendiri. Di ruangan tengah pendopo, menikmati sensasi baru kekuasaan di kursi singgasana.
“Tidak akan ada lagi yang mengaturku. Kini semua kebijakan ada di tanganku. Akan aku perjuangkan orang-orang yang telah berjasa.” Wajah putih dengan kumis tipis itu merona.
Perjuangan Hana untuk duduk sebagai bupati di sebuah kabupaten sudah direncanakan sejak dua tahun lalu. Gerakan bawah tanah, pendekatan terhadap tokoh-tokoh masyarakat, mengumpulkan sejumlah LSM, mengakomodir media massa, menggaji ahli IT untuk mempromosikan dirinya dan menjawab pertanyaan warga, telah ia perhitungkan secara matang.
Kemenangan ini merupakan kemenangan dari sebuah target terencana. Bukan ratusan milyar melayang percuma, yang Hana pikirkan, karena hal itu sebanding dengan hasilnya. Ia memikirkan rencana berikutnya. Ia akan menangkap ikan yang lebih besar lagi. Kesuksesan satu hal, biasanya disusul dengan kesuksesan lainnya. “Aku percaya dan yakin akan kebulatan tekad.”
Latar belakang Hana, sebetulnya hanya warga biasa. Dia bukan mahasiswa paling pintar. Dia juga bukan tokoh pemuda terpandang. Dia hanya tergerak ketika melihat sebuah buku, yang menceritakan bahwa menjadi raja sangat menyenangkan. Bisa melakukan apapun. Tunjuk sana, tunjuk sini. Semua hanya tinggal berkedip dan menunjuk dengan satu tangan. Semua bisa tersaji secepat ia menginginkannya.
Langkah pertama yang akan Hana lakukan, sebagai antisipasi ketika menjawab incaran media, tentunya adalah soal seratus hari kerja pertama dirinya memimpin. Otaknya kini diperas lagi. Namun dengan rasa suka, hal itu tidak menjadi persoalan.
Jelas, hal ini patut dirayakan. Tetapi, pikiran Hana saat ini meluap gembira, aku tidak akan merayakannya dengan pesta pora. Itu semua penghamburan biaya. Aku akan merayakannya dengan menuliskan biografiku. Aku akan sewa orang yang kompeten di bidang menulis. Sejarah dicatat oleh para pemenang. Begitulah slogannya. Ungkapan para pemenang politik kekuasaan. Dan sejarah telah berjuta-juta buku menuliskannya. Hanya satu yang bisa bersikap seperti itu. Pemenang! Pemenang ! Bukan Pecundang.
Hana mengetahui trik dan strategi mempengaruhi kawan maupun lawan. Buku terlaris pada zamannya dilahap habis. Tapi dari semua buku yang ia baca dan ia punyai, buku mempengaruhi kawan dan lawan karya Dale Carnegie punya cerita menarik. Hana, bahkan tak punya uang untuk membelinya. Ia menggadaikan KTP dan jam tangan pemberian ayahnya. Waktu itu ia berpikir, “ini pengetahuan. Aku butuh ini.” Dan, kini wujud nyata dari apa yang ia fokuskan sudah terlangkahi dengan baik.
Hana memang menghayati betul film-film bernada konspirasi politik. Termasuk buku cerita yang berjudul “ghost writer”. Semuanya itu membuatnya cerdas, cerkas, cerdik sekaligus pintar. Ia berpendapat, lihai saja tidak cukup, harus punya semua predikat dan padanan kata yang maknanya lebih khusus lagi. Dari semua predikat yang tadi disebut, menang dan menjadi pemenang adalah targetnya. Secerdas apapun satu orang, IPK yang tinggi sekalipun, tak akan ada artinya jika dalam permainan, justru malah kalah. Percuma saja.
Oleh karenanya, pintar, cerdik, cerdas hanya proses untuk menuju kemenangan sejati. Dan kemenanganku, ungkap Hana dalam hati, adalah menang dan terpilih menjadi seorang kepala daerah.
Pengetahuan merupakan sebuah misteri. Keterampilan juga harus dicari, didengarkan, serta harus membuka-buka bacaan, pokoknya apapun yang bisa menambah wawasan, Hana akan sigap melahap semuanya. Seperti tukang sampah, tumpukan apapun akan ia bawa, akan ia kumpulkan. Tak ada sampah yang tak ada harganya. Semua bisa berharga seperti emas, asal kita mampu memolesnya.
Hana selalu saja saja oftimistis tentang diri dan sikapnya. Begitupun kepada istrinya, Nera. Ia selalu bilang, “Kau tahu istriku, aku tidak akan bilang satu pun rencana-rencanaku, tapi aku pasti bilang bahwa targetku, menang menjadi bupati.”
Kalimat itu, Hana utarakan tiga tahun sebelum dirinya kini ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang perolehan suara tertinggi untuk dukungan masyarakat, yang telah memilihnya menjadi pemimpin. Kini ucapannya benar-benar terbukti. Istriya tentu saja tersenyum bangga. Nera sedikit ragu pada waktu itu, namun kemenangannya kini menghapus semua keraguan. Tak ada yang lebih puas, selain menyaksikan ucapan seseorang terwujud. Begitulah kehidupan, tepuk tangan hanya milik para pemenang, bukan pecundang.
Istri sang pemenang ini, Nera, kelihatannya memang tidak jauh berbeda dari segi umur. Namun sebetulnya, ada perbedaan usia cukup mencolok. Nera ini nyatanya jauh lebih tua 10 tahun. Nera berusia 40 tahun. Sementara Hana kini berusia 30 tahun. Di usia kepala tiga tersebut, dengan jabatan sebagai kepala daerah adalah kesuksesan yang luar biasa.
Kembali ke soal istri sang penguasa baru di wilayah kabupaten. Usia 40 tahun memang seharusnya sudah terlihat kerutan pada kelopak matanya, tapi tidak bagi Nera Nasya. Hana menikahinya karena posisi Nera waktu itu, telah ditinggal suaminya yang meninggal karena kecelakaan. Posisinya sudah beres masa iddah. Nera Nasya meninggalkan dua anak yang sudah besar. Dan semua itu dibiayai oleh suami dan satu pabrik, yang dipimpin dan dikelola oleh Nera. Perusahaan keluarga yang sudah ia kelola sejak remaja.
Perusahaan keluarga itu adalah mengolah daun cengkeh hingga menjadi minyak. Perusahaan yang didirikan oleh ayah Nera ini, rupanya meninggalkan warisan yang tidak sedikit. Tercatat setelah menikah dengan Hana, kekayaan cengkeh milik keluarga Muhasabah sudah tak ternilai. Lahannya tersebar hingga isu terkuak bahwa kekayaan yang diperoleh keluarga Nera Nasya mencapai 150 T, ya, trilyun.
Belum soal rumah yang tercatat atas nama ayahnya. Di wilayahnya sendiri sudah ada lima titik, sementara rumor beredar. Di kota kembang punya dua villa, di kota hujan ada tiga villa, serta di wilayah Jawa bagian timur, tercatat ada sebuah penginapan atas namanya. Ringkasnya, Nera memang berkecukupan dari segi materi, dan terjaga dalam hal apapun. Tidak kurang setetes minyak pun. Semuanya serba terpenuhi dengan baik.
Meski begitu, masyarakat di sekitar rumah dan pabriknya yang luas itu. Tetangga maupun saudara, banyak yang mengacungi jempol. Karena baik Nera, maupun Hana, ataupun dua anaknya, semuanya tidak sombong. Mereka someah (bahasa Sunda yang berarti murah senyum), tidak judes. Mengalah bertanya lebih dulu, meski tengah naik kendaraan. Atau meenyapa lebih dulu, ketika keluar rumah sambil berjalan kaki.
Banyak yang bertanya soal kecantikan Nera, istri Hana, yang, kemudian ia berhasil menjadi bagian keluarga super kaya tersebut. Nera tak pernah mempersoalkan warga di sekitar rumahnya, terkait Hana yang menikahinya hanya untuk materi. Itu cuma gosip murahan. Lebih baik menutup mata dan telinga, serta tetap berbuat baik kepada sesama. Itu prinsip paling kuno. Setiap tahun, Nera dan Hana selalu menyantuni anak yatim dan para jompo. Santunannya melebih para pejabat anggota perwakilan rakyat, maupun bupati pada saat itu.
Nera Nasya juga pernah menguatkan suaminya. Ketika itu, Hana menginginkan agar pindah rumah saja ke wilayah kota, karena tidak tahan dengan gunjingan tetangga, bahwa ia hanya menikahi janda kaya supaya hidup enak saja. Nera Nasya dengan bijak menguatkan suaminya yang tampan itu dengan kalimat sederhana. “Sudahlah Kang. Kita tidak bisa menghentikan lisan setiap orang. Mereka punya hak untuk bicara. Yang penting kita tetap berbuat baik. Mereka tetap senang dengan pemberian.” Ujarnya. Nera pun melanjutkannnya, “Serta, yang jelas aku tahu, bahwa suamiku akan menjadi besar. Aku memilihmu diantara para peminang yang antri karena satu hal yang paling menonjol.”
Hana memicingkan matanya,” Apa tuch?”
“Kamu lucu, lugu dan polos. Tapi kamu punya pengetahuan. Semua pelamar yang antri tidak punya itu. Sorot mata mereka menggambarkan hanya ingin menguasai harta yang dibangun orangtuaku. Dirimu, suamiku, tidak punya aura semacam itu.” Jelas Nera.
Mendengar pengakuan jujur seperti itu, Hana sangat bersyukur. Dia butuh 60 detik untuk kemudian tersenyum. Dan itulah yang membuat Nera Nasya jatuh cinta.
“Kau tidak keberatan soal perbedaan usia kita kan?”
Kali ini Hana tertawa cukup lepas. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu mengetik gadis cantik usia 20-an. Lalu muncul puluhan gambar cantik, dengan wajah yang menyejukkan mata juga merangsang. “Lihatlah! Sepertinya istriku dengan gadis 20-an tidak ada bedanya.” Sambil berkata begitu, Hana mendekatkan ponselnya ke dekat wajah istrinya. Ia menatap dengan senyum serius lalu tersenyum. “Tuch kan gak ada bedanya, bagiku istriku masih sama ABG-nya dengan yang kulihat di ponsel.” Lalu, Nera Nasya pun tersenyum bangga. Itulah yang ia suka dari suaminya.
Pria lain yang antri selalu mengatakan tanpa perumpamaan, pria biasa selalu langsung saja, selalu mengatakan kamu cantik. Tidak berseni dalam kata-kata, membuat laki-laki manapun sudah cukup dikatakan kurang pengetahuan. Hana-Nera pun bergumul sampai larut malam di ruangan khusus sebagai suami istri. *** (tunggu episode berikutnya)
*** Diana HA, adalah seorang penulis, penikmat bacaan terutama novel, pemerhati, mahasiswa
Comment here