OPINI

Komodo dan Kita

Penulis : Rendy Jean Satria

MACAKATA.COM – Saya ingin memulai esai ini dari perkataan filsuf Jerman, Imannuel Kant, “Ia yang kejam terhadap binatang, juga menjadi kejam ketika berhubungan dengan orang lain. Kita bisa mengetahui hati seseorang dari sikapnya terhadap binatang.”

Bumi. Saya percaya, bukan hanya kita saja yang berhak menikmatinya. Mereka juga berhak mencium, meraba, tinggal dan minum dan makan darinya. Mereka yang saya maksud di sini adalah binatang.

Miris…

Ketika sebuah truk proyek pembangunan, harus berhadapan dengan komodo, binatang yang dilindungi. Di pulau Rinca, salah satu gugusan pulau-pulau  yang ada di NTT. Tempat hewan purba dari spesies biawak raksasa ini berumah sedikit terganggu. Adegan satu lawan satu, antara truk lengkap dengan dua orang pekerja proyek di atasnya melawan komodo. Komodo itu sendiri.

Apa yang terjadi sebenarnya dengan kita?

Proyek. Satu kata itu mungkin tidak pernah terbersit oleh Komodo dan rumahnya. Ketika kali pertama pada tahun 1910 – dunia mulai tahu – ada segerombolan binatang yang aneh mirip naga itu ditemukan di sebuah pulau yang jauh dari hiruk-pikuk. Beberapa tahun setelahnya – binatang yang memiliki insting penciuman dari bisanya itu mulai diteliti secara seksama di Bogor.

Semenjak itu dunia mulai menyoroti.

Dalam video singkat dokumenter Milosch Kitchovitch, tahun 2016 digambarkan pulau Rinca di NTT dikelilingi gugusan – gugusan pulau yang terbentang. Laut biru, langit biru. Ribuan Komodo bergerak dengan leluasa – hidup berdampingan dengan manusia lokal setempat.

Sekilas suasana pulau di sana mirip dengan suasana film Jurrasic Park, yang tayang perdana tahun 1993. Film yang di sutradarai oleh Steven Spielberg mengambil adaptasi dari novel Micheal Crichton ini, laku keras dan memenangkan Academy Awards. Menggambil setting di pulau Hawai.

Film ini justru mengingatkan kita mengenai hal-ihwal berbagai macam tentang teori, konspirasi mengenai kegagalan total dalam membangun megaproyek taman hiburan yang belum pernah ada di dunia. Hancur lebur oleh mereka sendiri.

Dengan dalih ingin memberikan wisata premium kepada warga – proyek yang diberinama “Jurrasic Park” di Pulau Rinca dan sekitarnya – walaupun saya agak geli mendengar sebutan itu – akan mengundang risiko cukup pelik dan berkepanjangan. Akan merusak ekosistem dan konservasi bagi habitat komodo, yang menurut riset dari International Union for Conservation of Nature and Natural Resources sebuah organisasi konservasi alam yang didirikan di Fontainebleau, Perancis, menggangap Spesies Komodo rentan mengalami kepunahan.

Saya skeptis, alih-alih jika niat asal adalah mengambil inspirasi dari tema Jurrasic Park, dengan sebuah taman dengan gugusan pulau-pulau, yang dikelilingi oleh binatang purba komodo – yang ada adalah apa yang disampaikan oleh pesan film Jurrasic Park itu sendiri. Yakni kegagalan dan kehancuran dari taman wisata yang dibangun oleh atas nama citra dengan berbagai macam dalih-dalihnya. Steven Spielberg justru mengingatkan kita, tentang bahayanya membangunkan hewan purba.

Wallahualam Bishawab…

Cimenyan, Bandung, 27 Oktober 2020

*Rendy Jean Satria, adalah penyair dan essais.

Comment here