Suasana baru dari Mambo-Pendopo-Kemenag memungkinkan perubahan nama jalan yang menyiratkan sejarah Majalengka
MAJALENGKA – macakata.com – Aturan tentang penamaan jalan di seluruh Indonesia memang berbeda-beda. Namun, berdasarkan sejumlah artikel, salah satunya hukumonline.com, perubahan atau pergantian nama jalan tergantung kebijakan di daerahnya masing-masing.
Sebagai contoh di Jakarta, nama jalan bisa diusulkan oleh perseorangan, kelompok atau organisasi, maupun atas inisiatif DPRD. Usulan nama harus diajukan secara tertulis kepada kepala daerah yang ada di wilayah itu.
Usulan itu nantinya akan dikaji dan dinilai oleh tim Badan Pertimbangan Pemberian Nama Jalan, Taman dan Bangunan. Hal ini merujuk pada Undang-Undang No. 20 tahun 2009 tentang Gelar,Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan. Dalam sejumlah pasal UU tersebut menyebutkan, perlu ada sosialisasi seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menumbuhkan semangat kepahlawanan, supaya masyarakat di daerah tersebut mengetahui sejarahnya, sekaligus memufuk warga berbangsa dan bernegara.
Saat ini di Majalengka, renovasi pinggir jalan yang memanjang dari Fujasera-Mambo-Pendopo hingga Kemenag sebentar lagi rampung. Jalur ini bernama Jalan Ahmad Yani. Rencananya, setelah beres renovasi, area tersebut akan diberlakukan satu arah. Pedestrian dan suasana Malioboro akan hadir di area dekat Alun-alun Majalengka dan Mambo.
Ketua Grup Madjalengka Baheula (Grumala), Nana Rohmana mengusulkan agar penamaan Jalan Ahmad Yani diubah menjadi Jalan RT. Dendanagara. Nama Dendanagara ini tercatat sebagai bupati pertama di wilayah Kabupaten Majalengka.
Penamaan jalan di Kota Majalengka dengan nama tokoh pahlawan lokal atau nasional mungkin sekitar tahun 1960-an. Adapun nama Jalan Ahmad Yani itu mulai berlaku sekira tahun 1990-an, sebelumnya bernama Jalan KH. Abdul Halim.
“Tahun 1950-an jalan Suha itu namanya jalan Dipati Ukur. Jalan Ibu Tien Soeharto diganti jadi Jalan KH. Abdul Halim,” ungkapnya, Senin, 25 Januari 2021.
Pria yang akrab dipangil Naro menambahkan, sebelum jalan Ibu Tien Soeharto, namanya adalah Jalan Raya Barat dari Alun-alun ke arah barat. Atau sebaliknya, dari tengah Alun-alun Majalengka ke arah timur itu namanya Jalan Raya Timur. Itu sewaktu masih zaman Belanda.
“Jika mau diganti atau diubah namanya, jalan depan pendopo ini sepertinya cukup dibahas yang melibatkan pihak eksekutif dan legislatief di daerah,” ujarnya.
Naro menyebutkan perubahan nama jalan Ibu Tien Seoharto menjadi KH. Abdul Halim terealisasi pada zaman kepemimpinan Bupati H. Sutrisno dan Wakilnya H. Karna Sobahi. Itu tak lama setelah ada penetapan gelar pahlawan nasional kepada KH. Abdul Halim.
“Dulu itu, nama Jalan KH. Abdul Halim ada di jalur Pujasera melewati pendopo, sampai perempatan Jalan Emen Slamet dekat SLB,” ungkapnya.
Naro menjelaskan, nama Raden Tumenggung (RT) Dendanagara merupakan tokoh lokal, yang juga tercatat dalam dokumen naskah tertulis, yang hingga kini masih ada berkasnya, Dendanagara tercatat sebagai Bupati pertama Majalengka.
“Supaya masyarakat nyarahoeun sejarah, saha Bupati pertama Majalengka. (Supaya warga mengetahui sejarah, tentang siapa sich nama bupati pertama yang menjabat Bupati Majalengka dulu). Jalan Ahmad Yani, kalau boleh, kami/Grumala usul, bagusnya diganti saja dengan nama jalan RT.Dendanagara,” ujarnya.
Selain Dendanagara tokoh-tokoh lokal lainnya juga perlu diangkat. Sebagai contoh, di Cigasong ada tokoh Tumenggung Natakarya atau Jagaweswa, yang lainnya Bagus Rangin.
“Termasuk di Talaga ada Simbar Kancana, Sachanata, dan masih banyak lagi,” tandasnya. ( MC-03)
Comment here