Waktu itu ada mosi tak percaya pada pemerintahan Belanda
MAJALENGKA – macakata.com – Wilayah Kecamatan Sindang dan sekitarnya menyimpan sejarah perjuangan tentang pemerintahan Kabupaten Majalengka.
Sekira tahun 1948 sampai 1949 silam, paska Indonesia diproklamasikan dan dinyatakan merdeka tahun 1945, pemerintahan Kabupaten Majalengka masih sempat dikuasai oleh pemimpin Belanda yakni tahun 1948-1949.
Sehingga, bagi warga atau masyarakat Majalengka waktu itu, solusinya yakni membentuk pemerintahan sendiri dan melantik Bupati Majalengka sementara atas nama M. Chavil.
Saksi bisu bangunan pelantikan Bupati Majalengka sementara M. Chavil sendiri, saat ini masih ada di wilayah Desa/Kecamatan Sindang Kabupaten Majalengka, yakni SDN Sindang.
Saksi mata orang yang menyaksikan pelantikan Bupati Majalengka sementara itu, juga masih hidup hingga kini. Namanya Ibunda Hajah Umamah.
Hajah Umamah sendiri merupakan putri dari Kuwu Haji Atmasantana. Atmasantana ini merupakan orang yang terlibat langsung dalam pelantikan Bupati Majalengka sementara.
Dalam video yang diproduksi Komunitas Grup Majalengka Baheula atau Grumala, divisualisasikan atau digambarkan proses wawancara antara Ketua Grumala, Nana Rohmana, akrab disapa Mang Naro dengan saksi hidup sejarah tersebut.
Mang Naro sedang mewawancarai Hj. Umamah didampingi anak pertamanya, yang merupakan cucu dari Kuwu Haji Atmasantana, yakni Haji Asep Saepudin.
Diceritakan oleh Hajah Umamah, saat itu ayahnya Kuwu Haji Atmasantana memang menjadi seorang pemimpin di wilayah Desa Sindang.
“Rumah ini dulunya sangat luas dan besar. Dulu di rumah ini tempat berlatih dan istirahat 400 tentara. Sementara pelantikan Bupati berlangsung di bangunan sekolah dasar,” ujarnya berbicara bahasa Sunda, wawancara dengan Grumala, dalam video yang diposting masih nuansa lebaran Iedul Fitri, Mei 2021.
Hajah Umamah juga menceritakan bahwa rumah tersebut merupakan tempat warga mengadu. Sehingga sosok pemimpin yang baik hati waktu itu, Haji Atmasantana selalu menyediakan makanan setiap harinya untuk warga.
“Kalau pagi hari, banyak warga yang membawa nampan. Ayah saya selalu menyediakan makanan, sehingga warga kampung Sindang bebas makan di sini, termasuk dengan para prajurit,” ungkapnya.
Atas jasanya itu, Bupati Majalengka sementara M. Chavil sempat menawari H. Atmasantana untuk diangkat menjadi pasukan TNI.
“Hanya saja, ayah saya menolak. Sementara teman-temannya masuk dan menerima gaji. Yang dilakukannya itu ikhlas saja, tanpa perlu dibalas dengan sesuatu,” ungkapnya.
Hajah Umamah menjelaskan, saat itu, masih segar dalam ingatannya, yakni tahun 1948. Ia memang masih kecil, antara usia lima atau enam tahunan.
“Kata ayah saya, saya masih ingat, waktu itu tahun 1948,” ungkapnya.
Hanya saja, Hajah Umamah menuturkan, nyaris tak ada barang bukti atau dokumentasi maupun berkas, yang bisa mendukung cerita sejarahnya itu, mengingat saat itu, di wilayah Sindang, selain Belanda, juga ada gerombolan perampok dan pencuri.
“Waktu itu ada banyak gerombolan perampok yang datang ke Sindang, membakar semua rumah termasuk rumah ayah saya ini, rumah orangtua. Semua barang, dokumen berharga habis terbakar,” ungkapnya.
Terpisah, Ketua Grumala, Mang Naro mengatakam tahun 1959 lalu, Kuwu Haji Atmasantana dinyatakan telah meninggal dunia. Tadinya, rumah yang menjadi saksi bisu tersebut akan diajukan menjadi Benda Cagar Budaya atau BCB.
“Hanya saja, bentuknya sudah tidak utuh lagi. Sementara, sebuah bangunan bisa diusulkan menjadi BCB, ketika bangunan itu masih dalam kondisi utuh minimal 60 persen bangunan asli,” ungkapnya.
Dalam berbagai keterangan, Mang Naro menambahkan, dibentuknya Bupati Majalengka sementara, karena pada saat itu ada mosi tidak percaya pada pemerintahan oleh Bupati Recomba atau kepanjangan dari Regering Comisaris Bestur Angelelegnheiden.
“Recomba itu bahasa Belanda yang berarti pemimpin boneka. Atas dasar itu, kaum pribumi mendirikan dan melantik Bupati Majalengka sementara di Sindang,” ungkapnya.
Mang Naro menjelaskan, setelah mendengarkan penuturan Hajah Umamah, selain bangunan dan cerita yang turun temurun dikisahkan oleh para sesepuh Sindang itu, masih ada jejak nama jalan yang hingga kini diabadikan.
“Nama jalan itu yakni jalan Jogja Kecil. Karena selain 400 prajurit itu, juga ada prajurit lainnya dari Jakarta. Sindang dulu merupakan tempat berkumpulnya para pejuang seperti di Jogja, oleh karenanya disebut Jogja Kecil. Nama Jogja Kecil itu masih diabadikan, hingga kini masih ada jejaknya,” tandasnya. (MC-03)
Comment here