OPINIPENDIDIKAN

Batal Berangkat Haji tapi Dapat Predikat Haji Mabrur

 

Oleh : ApotsuM-

MacaKata.com – Membahas silang pendapat tentang perbedaan hari raya di media sosial sudah banyak berseliweran berdasarkan sudut pandang masing-masing dan alasan-alasan dari kedua pendapat saling mengemuka, munculah tulisan  “Wukuf itu di Arafah bukan di Nusantara” yang di tulis oleh Nasrudin Joha. Kemudian dibantah oleh Dr. Tohirin, Lc, M. Ag. dengan tulisan berjudul “Islam Rahmatan Lil’alamin”. Dari sini, kadang perdebatan diantara kita akhirnya melupakan substansi dari makna haji itu sendiri, lebih-lebih haji yang mabrur.

Di saat haji sudah tertunda dua tahun karena covid ditambah semakin panjangnya antrian panjang untuk bisa berangkat haji membuat penderitaan bagi yang tidak bisa berangkat haji. Dari sini penulis ingin berbagi kisah penuh pengorbanan bagi kita untuk diambil hikmahnya diambil dari berbagai sumber.

Alkisah, seorang ulama besar bernama Abdullah bin Mubarak berbaring di pelataran Masjidil Haram. Ia baru saja melaksanakan rangkaian ibadah haji di tanah suci. Dalam hatinya ia berdoa dan berharap agar hajinya mabrur dan diterima oleh Allah SWT.

Tukang Sol Sepatu Batal Naik Haji

Karena kecapaian dia tertidur dan bermimpi bermimpi dua malaikat yang sedang dialog “Berapa banyak orang berhaji tahun ini?” tanya salah satu malaikat. “Ada 600.000,” jawab malaikat lainnya.

“Ada berapa yang hajinya diterima?”  tanya malaikat yang pertama. “Sama sekali tidak ada” jawab malaikat yang kedua. Seketika malaikat yang bertanya itu pun termenung. Membayangkan betapa sedihnya nasib jamaah haji tahun itu. Ibadah haji yang mereka lakukan dengan khusyknya, ternyata di mata Allah tak ada nilainya.

Setelah itu, malaikat kedua segera melanjutkan perkataannya, “Namun, ada seorang lelaki tukang sol sepatu di Damsyiq bernama Ali bin Al-Muwaffaq yang tidak berhaji, tetapi Allah menghitungnya sebagai haji mabrur. Dan bahkan karena dia, Allah memabrurkan haji 600.000 orang ini”.

Abdullah bin Mubarak kaget mendengar percakapan dua malaikat itu hingga terbangun dari tidurnya. Ia pun penasaran ingin bertemu dengan seorang tukang sol sepatu yang beruntung itu. Setelah menunaikan haji, ia pergi ke Damsyiq untuk mencari Al-Muwaffaq.

Setelah bertemu, ia menceritakan mimpinya dan bertanya tentang amalan yang dikerjakan Al-Muwaffaq. Kemudian, Al-Muwaffaq berkisah bahwa selama 30 tahun ia menabung dari hasil kerja sebagai tukang sol sepatu untuk berhaji.

Beberapa bulan menjelang musim haji tahun itu, ia pun berhasil mengumpukan uang 350 dirham. Ia yakin tahun itu akan genap terkumpul 400 dirham untuk berangkat haji. Namun, ia gagal berangkat haji karena di sekitar kampungnya ada seorang janda yang mempunyai beberapa anak yang kelaparan. Janda tersebut sangat fakir. Akibatnya, janda dan anak-anaknya sudah berhari-hari tidak makan terancam mati kelaparan.

Suatu ketika, sang janda tengah menyusuri jalan. Ia melihat bangkai keledai kaku terkapar di pinggiran. Kemudian ia pun mengambilnya dan memasaknya untuk keluarganya. Melihat hal tersebut, Al-Muwafaq merasa iba. Tanpa pikir panjang, ia segera berbalik arah menuju ke rumahnya. Ia ambil sekantong uang dirham yang tadinya ia rencanakan sebagai dana perjalanan ibadah hajinya.

Al-Muwafiq tidak peduli gagal berangkat haji. Baginya membatalkan berangkat haji demi menolong kehidupan si janda beserta anaknya lebih penting ketimbang impiannya untuk menyempurnakan rukun Islam yang kelima.

Al-Muwaffaq kembali ke rumah sang janda dan menginfakkan 350 dirham tabungannya untuk makan dan kesejahteraan janda itu beserta anak-anak yatimnya. Dia hanya berharap ridha dari Allah SWT.

Kisah ini menujukkan bahwa ridha Allah tidak hanya bisa didapat di Ka’bah. Tapi juga bisa di gubuk-gubuk orang miskin dan tangisan anak-anak yatim.

Ketika seseorang ingin bertemu Allah, seseorang bisa menemukan di hatinya. Dan Allah SWT itu ada di mana-mana. Allah SWT berfirman:: “Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat. Maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS al-Baqarah [2]: 115).

Ali bin Al-Muwaffaq yang gagal berangkat haji bisa jadi i’tibar untuk kita,  menyadarkan kita semakin sadar bahwa batalnya pemberangkatan haji menyimpan hikmah yang begitu besar. Kita bisa menolong orang-orang yang sangat membutuhkan, dia tidak peduli dengan gelar haji.

Wallohu a’lam

10 Juli 2022 M / 10 Dzulhijah 1443 H- Pendopo Albiruni Cirebon

Comment here