Oleh : Diana Ha
MACAKATA – Isu toleransi dan menjaga kedamaian untuk tetap rukun antar umat beragama, maupun umat seagama, cukup menyenangkan dibahas dan didiskusikan.
Apalagi, bahasan yang diangkat adalah fakta-fakta yang terjadi, yang kemudian disebarluaskan secara cepat oleh kecanggihan teknologi informasi. Lewat akun-akun sosial media (sosmed) seperti Facebook, Twitter, Instagram, Tiktok, Chanel-chanel YouTube, dan sederet aplikasi sosial media lainnya.
Adanya sosmed tersebut, yang memungkinkan setiap orang yang punya smartphone bisa bebas mengakses dan memosting apa saja yang direkamnya, sebagian pemilik akun bertindak kebablasan sehingga menimbulkan intoleransi. Bebas posting pendapat dan menyuarakan opini pribadinya, harusnya ada batasannya.
Netizen di dunia maya, tampaknya terbagi dua. Kelompok yang satu, menyerang secara negatif. Kelompok satunya, lebih soft, terus menyuarakan kedamaian, mengajak masyarakat luas, termasuk jurnalis dan konten kreator agar bisa menyampaikan narasi menciptakan kedamaian bertoleransi dan berkeadilan gender.
Mengikuti workshop bersama Fahmina Institute di salah satu hotel di Kota Cirebon selama dua hari, adalah program untuk kampanye damai menyuarakan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan.
Tidak harus terlalu fanatik untuk sesuatu yang muncul tiba-tiba. Diskusi itu mengajak untuk menyelami lebih dalam, terhadap penomena keberagaman yang terjadi saat ini.
Yang muncul ke permukaan, seringkali terlihat seperti gunung es. Tampak terlihat hanya seukuran bukit kecil. Padahal jika diselami lebih dalam, kasusnya lebih beragam dan lebih kompleks. Gunung es yang ada di dalamnya lebih besar dan lebih khusus daripada yang terlihat di permukaan.
Hasil diskusi tersebut, yang melibatkan para pegiat sosial media dan pimpinan redaksi serta jurnalis yang punya minat pada toleransi dan keadilan gender, harus ada upaya untuk terus mengkampanyekan isu kedamaian, saling menghormati dan menghargai, tanpa harus menimbulkan reaksi prontal dan kekerasan.
Kampanye-kampanye damai, menghidupkan toleransi dan menjauhi intoleransi, merupakan pekerjaan rumah kita bersama, tak hanya jurnalis, tapi juga para pegiat sosial media, akademisi juga para konten kreator dan tampaknya semua kalangan.
Tulisan ini hanya ringan saja dan umum. Saya tak mau terlalu detail, takutnya ada salah khilap. Opini ini hanya sebagai apresiasi khusus kepada program yang diselenggarakan oleh Fahmina Institute.
Ketika diskusi di sana itu, saya sebagai peserta, yang tidak terlalu aktif, namun menyumbangkan saran dan usul, kenapa kita tidak membuat lebih banyak akun alternatif untuk menyuarakan kedamaian dan toleransi? Tentu batasannya adalah menyebarkan kebaikan dan mengajak pada hal-hal yang positif. Kampanye damai, kampanye toleransi yang betul-betul toleran dan menjaga kerukunan antar umat beragama maupun seagama.
Di luaran sana, banyak akun-akun palsu yang menyebarkan hoaks. Maka, salah satunya, kita pun harus membuat pasukan-pasukan tandingan lewat akun-akun alternatif itu. Untuk mengimbangi semua itu diperlukan aksi serupa dan porforsional. Hanya saja, tujuan akun alternatif itu adalah mengkampanyekan hal-hal positif, toleransi yang sebenarnya. Jika ada kata yang salah penulisan, itu semata mata sengaja saja. Kadang kita harus mencoba keluar ejaan yang disempurnakan. Mengingat bahasa ungkapan atau kalimat-kalimat yang ditulis oleh netizen di dunia maya seringkali serampangan, tak peduli EYD. Semoga Seksus ya…ehh…. Sukses untuk kita semua. ***
Comment here