Oleh : Alan Barok
MACA – 23 September 2024, nomor urut pasangan calon telah ada. Majalengka seolah ingin memberikan kejutan. Biasanya, panasnya matahari tak kenal kompromi, membakar setiap sudut kota majalengka. Namun, pada hari bersejarah itu, cuaca terasa lebih bersahabat. Angin sepoi-sepoi mengusap lembut wajah para undangan, langit pun tampak teduh seakan alam pun merestui acara yang digelar oleh KPU Majalengka. Sebuah hari yang sempurna untuk memperlihatkan bagaimana inklusi menjadi tema utama dalam demokrasi lokal kita.
Dan benar saja, KPU Majalengka tampil dengan gebrakan luar biasa. Mereka berhasil menyajikan sesuatu yang jarang terlihat di panggung politik: penyandang disabilitas yang terlibat langsung dalam acara pengundian nomor urut calon bupati dan wakil bupati. Dua penyandang disabilitas, dengan anggun mengenakan seragam putih abu-abu, didorong oleh para calon bupati ke panggung utama. Adegan ini seolah menjadi lambang mulianya niat KPU Majalengka dalam mengedepankan nilai inklusi.
KPU Majalengka, luar biasa! Mereka seolah tak hanya memikirkan kelancaran acara, tapi juga memberikan panggung pada mereka yang sering kali dilupakan dalam gemerlap politik. Sebuah langkah berani dan penuh inovasi, di mana penyandang disabilitas ditempatkan di garis depan, memberi kita harapan bahwa politik Majalengka menuju arah yang lebih inklusif dan berempati.
Namun, tunggu dulu… apakah benar ini soal kepedulian?
KPU Majalengka dan “Drama” Inklusi Palsu
Mari kita bicara sedikit soal KPU Majalengka. KPU Majalengka, yang sepertinya ingin membuat acara penuh makna, malah terjebak dalam gimmick murahan yang terasa hambar. Mereka seolah ingin menunjukkan ke dunia kalau mereka aware dan peduli pada penyandang disabilitas. Tapi, pertanyaannya, apakah mereka benar-benar paham apa artinya inklusi?
Kalau dilihat sekilas, pasti banyak yang terharu. “Wah, hebat banget, calon bupati kita kok mendorong kursi roda penyandang disabilitas, ini bukti mereka punya hati nurani!” Tapi tunggu dulu. Itu cuma di bagian awal. Saat bagian ‘showtime’ selesai, kedua disabilitas itu dikembalikan ke panitia. Kembali menjadi ‘bayang-bayang’ yang tak terlihat.
Sementara calon bupati dan wakil bupati duduk manis di sofa empuk, penyandang disabilitas seolah dibiarkan terlantar. Entah duduk di mana, entah di mana posisinya di acara ini. Dan KPU? Ya, mereka malah sibuk mengurus urutan nomor, seolah tugas mereka selesai setelah memastikan para disabilitas masuk frame foto. Inklusinya? Ah, cuma soal pencitraan, toh setelah itu mereka hilang dari sorotan.
Inklusi Jangan Hanya di Depan Kamera
KPU ini sepertinya lupa, kalau inklusi itu bukan sekadar dorong kursi roda buat dijadikan “pemanis” di panggung seremonial. Inklusi adalah soal memberikan tempat yang layak dan setara, dari awal acara hingga selesai, dari panggung depan hingga belakang layar.
Apa KPU Majalengka berpikir bahwa memasukkan penyandang disabilitas ke dalam acara ini cukup dengan memberi peran “sesaat” di depan panggung? Apa setelah itu, tidak penting lagi di mana mereka duduk atau bagaimana mereka dilibatkan?
Bayangkan, kalau KPU Majalengka benar-benar serius soal inklusi, harusnya penyandang disabilitas itu juga duduk di kursi empuk yang sama, bukan sekadar dikembalikan ke panitia seperti properti panggung yang sudah habis masa pakainya. Seharusnya, mereka juga diberi ruang untuk berpartisipasi, bukan hanya diarak sebentar untuk dijadikan tontonan.
*Kreatif atau Eksploitasi?*
KPU mungkin berpikir mereka kreatif dengan memasukkan elemen disabilitas di acara ini. Tapi, jujur saja, apakah ini benar-benar inovasi atau hanya eksploitasi yang halus? Menggunakan penyandang disabilitas sebagai alat untuk menambah kesan “manusiawi” dalam acara politik jelas tidak mencerminkan penghormatan yang sesungguhnya.
Kalau KPU benar-benar peduli, mereka harusnya memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak hanya hadir sebagai gimmick seremonial, tapi benar-benar dilibatkan secara setara dan dihargai. Mereka bisa saja menyiapkan kursi yang sama empuknya, posisi yang setara, dan bukan sekadar dipulangkan ke panitia begitu peran “panggung” mereka selesai.
Mengapa KPU Majalengka Harus Bertanggung Jawab?
KPU Majalengka punya tanggung jawab besar di sini. Mereka adalah penyelenggara acara yang harusnya bisa menjamin setiap elemen berjalan dengan penuh penghormatan, bukan hanya formalitas. Kalau KPU Majalengka sendiri sudah memandang penyandang disabilitas sebagai sekadar ornamen yang bisa diatur seenaknya, bagaimana mungkin kita berharap calon pemimpin yang mereka fasilitasi bakal punya perspektif yang berbeda?
Jangan salahkan calon bupati atau wakil bupati , mereka mungkin cuma ikut skenario. Justru KPU Majalengka yang mengarahkan ini semua harus mendapat sorotan tajam. Kalau mau bikin acara inklusif, ya bikin dong yang benar-benar inklusif. Jangan hanya di permukaan.
Saat Panggung Politik Menjadi Panggung Hipokrisi
Pada akhirnya, acara pengundian nomor urut ini bukan cuma soal siapa yang mendapatkan nomor satu atau nomor dua. Ini juga soal bagaimana kita memperlakukan sesama manusia. KPU Majalengka harus sadar bahwa acara mereka adalah cermin dari nilai-nilai yang ingin mereka tunjukkan kepada publik. Dan jika cermin itu memantulkan eksploitasi dan ketidakpedulian, maka mungkin kita harus bertanya: apa yang sebenarnya ingin mereka tunjukkan?
Penyandang disabilitas bukan sekadar alat kampanye atau properti seremonial. Mereka adalah bagian dari masyarakat yang harus dihormati dan diberi tempat yang layak. Bukan sekadar didorong ke panggung, difoto, lalu dilupakan begitu saja.
Jadi, KPU Majalengka, tolong. Lain kali kalau mau bikin acara, pastikan semua orang yang hadir diperlakukan setara. Bukan hanya calon bupati dan wakilnya dan elite elitnya saja tapi juga mereka yang mungkin tak bisa berjalan sendiri, namun tetap berhak mendapatkan tempat yang setara di panggung kehidupan kita bersama.
Penulis adalah aktivis akademi pemilu dan demokras
Comment here