MACA – Pagi yang Cerah di Kampus Biru, Laras mengayuh sepeda tuanya menuju kampus di jantung ibu kota. Sinar mentari pagi menyapa rambut hitamnya yang terurai, sesekali tertiup angin. Di tengah kesibukan sebagai mahasiswi kedokteran berprestasi, ia dikenal sebagai sosok yang tak pernah lupa akan zikir. Setiap selesai salat Subuh, bibirnya senantiasa berbisik kalimat tasbih, tahmid, dan istighfar. “Alhamdulillah,” gumamnya hari ini, mensyukuri kesempatan mengikuti seminar penelitian yang ia nanti-nantikan.
Namun, ada satu hal yang luput dari perhatiannya: tangki bensin sepeda hampir kosong. Laras memutuskan mampir ke SPBU dekat kampus sebelum seminar dimulai.
SPBU itu ramai. Laras mengantre di belakang beberapa motor. Saat tiba gilirannya, seorang lelaki bertopi SPBU berusia sekitar 30 tahun menyambutnya dengan senyum lebar. “Isi full, Bang,” ujar Laras sambil mengulurkan uang Rp100.000. Pria yang namanya tertera “Rudi” di badge itu mengangguk cepat. Tangannya lincah mengambil uang dan mengembalikan sejumlah pecahan: dua lembar Rp20.000 dan sepuluh ribu rupiah. “Terima kasih, Mbak,” katanya, sementara Laras tersenyum polos sebelum melesat pergi.
Seminar berjalan lancar. Saat hendak membeli makan siang di kantin, Laras terkejut saat penjaga warung menolak uang Rp20.000-nya. “Ini palsu, Neng,” kata ibu penjaga dengan wajah masam. Dua lembar uang itu terasa licin, tanpa garis pengaman. Dadanya sesak. Rp40.000 mungkin tak seberapa, tapi pengkhianatan itu yang menyakitkan. “Aku tertipu karena terlalu percaya,” bisiknya, menahan getir.
Dengan jantung berdebar, Laras kembali ke SPBU itu. Rudi sudah tak ada. Rekan kerjanya mengangkat bahu: “Dia cuma karyawan kontrak, belum tentu kembali.” Manager SPBU berjanji menindaklanjuti, tapi Laras tahu, uangnya mungkin tak kembali. Di tengah kepahitan, ia teringat pesan ayahnya: “Dunia ini ladang ujian. Jangan biarkan kepahitan meracimi hatimu.”
Ditemani secangkir teh hangat di taman kampus, Laras merenung. Zikir mengajarkannya untuk berserah, tapi bukan berarti lengah. “Kecerdasan akademis tak menjamin kebijakan hidup,” ucapnya dalam hati. Ia menyadari, sifatnya yang mudah percaya telah dimanfaatkan. Namun, ia tak mau menjadi sinis. Di saku tasnya, ia tetap menggenggam tasbih, berdoa agar Rudi diberi hidayah.
Malam itu, Laras menulis diary:
_”Bungkus Hijau…
Aku tak tahu apa yang membuatmu memilih menipu. Hutang? Kebutuhan mendesak? Tapi ketahuilah, ada mahasiswi yang hari ini belajar untuk tak membencimu. Zikirku pagi ini juga untukmu: semoga Allah memberimu jalan keluar tanpa harus menyakiti orang lain.”_
Keesokan harinya, Laras memasang poster kecil di SPBU itu: “Hati-hati uang palsu! Cek keaslian sebelum pergi.” Ia juga membagikan tips mengenali uang palsu di grup komunitas kampus. Teman-temannya terkejut: “Laras yang baik itu kini jadi pahlawan kewaspadaan!”
Di balik layar, Laras tetap menjadi sosok yang sama: rajin berzikir, tekun belajar, tapi kini dengan senyum yang lebih bijak. “Allah mengujiku dengan tipu daya agar aku belajar mengolah keimanan menjadi kearifan,” katanya pada sahabatnya. Bagi Laras, Rp40.000 itu bukan lagi sekadar uang—melainkan katalisator yang mengajarkannya bahwa kebaikan sejati harus disertai kewaspadaan.
Kisah Laras menyebar di kampus. Dosen pembimbingnya berkata, “Kecerdasan emosionalmu lebih berharga dari IPK 4.0.” Ada yang mengejeknya naif, tapi lebih banyak yang terinspirasi. Laras pun kini tak ragu mengingatkan teman yang lalai mengecek kembalian. “Zikir bukan berarti menutup mata dari realita,” ujarnya sambil tersenyum. Baginya, dunia ini tetap tempat yang indah—asal kita tak berhenti belajar dari setiap kejadian, sekecil apa pun. ***
Comment here