CERPENKISAH HIDUPWorld

Mimpi Aisha yang Rajin Zikir sebelum Azan Maghrib

MACA – Di sudut asrama kampus di Bandung, Aisha yang rajin zikir menyeka keringat di dahinya dengan lengan jersey Manchester United yang sudah usang. Di dinding kamarnya, poster David Beckham era Real Madrid bersanding dengan kutipan ayat Al-Qur’an tentang kesabaran. Sejak kecil, dua hal ini mengisi hidupnya: zikir yang menenangkan dan sepak bola yang membara.

Rabu Pagi: Antara Tasbih dan Taktik Aisha yang rajin ber-zikir bangun pukul 04.00. Setelah salat Subuh, jemarinya mengalunkan tasbih sambil matanya menatap highlight pertandingan Lionel Messi di Barcelona. “Subhanallah, bahkan gerakan Messi itu seperti tarian,” gumannya. Puasa Senin-Kamis adalah komitmennya, tapi hari ini Rabu, ia tetap melanjutkan kebiasaan minum air dan kurma untuk persiapan latihan nanti.

Di kelas teknik sipil, Aisha yang rajin zikir dikenal sebagai mahasiswi berhijab dengan IPK 3.9. Tapi saat jam kuliah usai, ia berubah menjadi perempuan dengan sepatu bola compang-camping dan kaos kaki hingga lutut. “Latihan jam lima sore, sebelum buka puasa!” pesannya di grup WA tim futsal kampus, Bengkel Bola.

Jumat Sore: Lapangan dan Doa

Hari itu Jumat, minggu ketiga Ramadan. Aisha yang rajin zikir memakai armband kapten sambil mengatur strategi melawan tim lawan. Di pinggir lapangan, botol air mineral dan kurma menunggu waktu berbuka. “Oper ke sayap! Manfaatkan ruang seperti Trent Alexander-Arnold!” teriaknya, menyebut nama bek kanan Liverpool idolanya.

Usai latihan, ia duduk di tepi rumput sambil membuka puasa dengan air dan kurma. Matanya menatap langit jingga sembari berdoa: “Ya Allah, jadikan langkahku di lapangan ini sebagai ibadah.” Di tasnya, selalu ada buku catatan taktik dan *mu’awwidzatain* (surat An-Nas dan Al-Falaq) yang ia baca setiap malam.

Malam Minggu, Aisha yang rajin zikir tak pernah ke kafe. Di kamarnya, ia menonton ulang pertandingan Cristiano Ronaldo di Juventus sambil mencatat teknik *stepover*. Di rak buku, biografi Megan Rapinoe—legenda sepak bola wanita AS—bersanding dengan kitab *Riyadhus Shalihin*. “Suatu hari, aku ingin seperti mereka: membawa nama Indonesia di Piala Dunia Wanita,” bisiknya, menatap foto timnas Prancis yang menjuarai Piala Dunia 2019.

Suatu hari, pelatih tim menawarinya uji coba di klub wanita Persib Bandung. Aisha hampir menangis, tapi segera ingat puasa. “Ini rezeki, tapi aku harus tetap *istiqomah*,” katanya pada sahabatnya, Devina, sambil menunjukkan jadwal latihan yang bertabrakan dengan waktu tahajud.

Tanggal 27 Ramadan, *Bengkel Bola* diundang turnamen futsal antar kampus. Final jatuh pada hari Senin—hari puasa sunnah Aisha. “Kamu yakin bisa main 20 menit tanpa minum?” tanya Devina khawatir. Aisha hanya tersenyum: “Dulu Beckham main 120 menit dengan tulang rusuk patah di Piala Dunia. Ini hanya haus.”

Di menit ke-75, skor 2-2. Aisha yang rajin zikir menggiring bola melewati dua pemain, persis seperti aksi Neymar di PSG. Saat akan menendang, kakinya gemetar. Dari tribun, suara adzan Maghrib berkumandang. “Bismillah!” teriaknya. Tendangan melengkungnya masuk sudut kiri gawang, mirip *free kick* Beckham untuk Inggris tahun 2001.

Malam itu, Aisha yang rajin zikir menulis surat yang tak pernah dikirim:

*”Dear Mr. Beckham,

Andai kita bertemu, aku ingin bertanya: bagaimana caranya tetap rendah hati saat seluruh dunia memujimu? Aku belajar darimu untuk kerja keras, tapi belajar dari Rasulullah untuk tak sombong. Suatu hari, doakan aku bisa seperti Alex Morgan: mencetak gol dan tersujud syukur di lapangan.”*

Kini, Aisha yang rajin zikir tak hanya jadi top skor di liga kampus. Ia merintis komunitas *Muslimah Ballers*—wadah perempuan berhijab yang ingin bermain bola tanpa takut dihakimi. “Sepak bola bukan dunia haram,” katanya di webinar inspirasi, “Lihat saja Fran Kirby di Chelsea atau Sam Kerr yang tetap berkarya dengan etos.”

Setiap Senin dan Kamis, ia yang rajin zikir tetap puasa. Setiap jelang buka, ia tetap latihan. Di meja belajarnya, ada dua piala: satu dari turnamen futsal, satu lagi dari lomba tahfiz Qur’an antar fakultas. “Aku ingin membuktikan: menjadi *hafidzah* dan striker bisa berjalan beriringan,” ujarnya pada reporter kampus.

Sebulan lalu, seorang scout Persib berkata: “Kami butuh pemain dengan mental sepertimu.” Aisha menjawab sambil tertawa: “Boleh, asal latihan tidak selama *tarawih*.”

Di sudut hatinya, mimpi itu tetap menyala: suatu hari, namanya akan disebut bersama klub-klub besar seperti Olympique Lyonnais atau Wolfsburg—tim-tim yang menghormati atlet wanita. Sampai saat itu tiba, ia akan tetap berlari di antara azan dan peluit wasit, antara tasbih dan teriakan gol.

Teman-temannya sering bercanda: “Aisha, kamu ini kombinasi Siti Hardijanti (pesepak bola wanita Indonesia) dan Maher Zain!” Tapi Aisha hanya mengibaskan tangan: “Aku hanya ingin jadi diri sendiri: muslimah yang mencintai Allah, keluarga, dan sepak bola—dengan urutan itu.”

Di lapangan, ia tetap perempuan yang setiap golnya diakhiri sujud syukur. Di luar lapangan, ia tetap Aisha yang tersipu saat melihat video compilations Erling Haaland di Borussia Dortmund. “Dia monster gol, tapi akhlaknya humble. Itu yang kucari,” katanya sambil tersenyum.

Bagi Aisha yang rajin zikir, hidup ini sederhana: bola adalah doa yang dipantulkan dengan kaki. Dan selama masih ada langit di atas lapangan, ia akan terus berlari—dengan hijabnya yang berkibar dan hatinya yang tetap melekat pada zikir-zikir pengharapan.(Cil) ***

***cerita ini hanya fiktif dan karangan belaka

Comment here