CERPEN

Kisah Sukses Remaja yang Rajin Baca Buku, Bisnisnya Terus Berkembang

MACA – Laras duduk di bangku kayu usang di teras rumahnya, matahari pagi menyelinap lewat celah-celah genting. Di tangannya, sebuah buku biografi *Marie Curie* yang ia pinjam dari perpustakaan sekolah. Ia ingin mengukir kisah suksesnya sendiri. Sejak kelas 3 SD, gadis berambut ikal ini menemukan dunia lain di balik halaman-halaman buku. Ayahnya, seorang guru sejarah, kerap membawakan buku bekas dari pasar loak. Ibunya, penjahit di kampung, hanya bisa tersenyum melihat putrinya menghabiskan waktu dengan tumpukan kertas berdebu. “Dunia ini luas, Nak. Kalau tak bisa jalan-jalan, bacalah,” pesan ayahnya suatu sore.

Saat SMP, Laras sudah melahap ratusan buku, karena memang ia ingin mengukir kisah suksesnya sendiri: mulai dari kisah Nelson Mandela hingga biografi Bob Sadino. Setiap tokoh meninggalkan jejak di pikirannya. Suatu hari, ia membaca tentang Bill Gates yang memulai karir dari garasi. Matanya berbinar. “Aku juga bisa menciptakan sesuatu,” bisiknya.

Di usia 15 tahun, Laras melihat masalah di sekitarnya: banyak anak SMA kesulitan mengerjakan tugas karena tak punya komputer. Warnet terdekat ada di kota, 10 km dari desanya. Dengan tabungan Rp1,2 juta dari jualan kue bersama ibu, ia membeli dua komputer bekas. Ayahnya menyulap gudang belakang rumah menjadi ruangan sempit beralaskan karpet lusuh. “Warnet Laras” resmi dibuka.  Kisah sukses Laras sedang berada di pertengahan jalan.

Awalnya, hanya 3-4 pelanggan sehari. Tapi Laras tak menyerah. Ia membaca buku *The Lean Startup* dan menerapkan prinsip “feedback loop”. Pelanggan mengeluh harga terlalu mahal? Ia buat paket per jam lebih murah. Internet lambat? Ia nekat berjalan 3 km ke kota untuk nego harga paket data lebih baik. Dalam setahun, warnetnya punya 8 komputer dan menjadi tempat favorit anak muda.

Ketika Empati Bertemu Bisnis

Suatu senja, kisah sukses Laras ini masih terus dijalani setahap demi setahap. Laras melihat Pak Tono, tukang becak langganan ayahnya, duduk lesu di warung kopi. “Sejak ada ojek online, penghasilan saya turun separuh,” keluhnya. Malam itu, Laras tak bisa tidur. Di buku *Social Entrepreneurship* yang ia baca, ada kisah Muhammad Yunus yang meminjamkan modal ke pengrajin Bangladesh.

Keesokan pagi, ia ajak 5 tukang becak berkumpul. “Bagaimana kalau Bapak-bapak menyewa becak dari saya? Bayarnya 20% dari penghasilan harian, bukan tetap.” Ide itu diterima. Dengan keuntungan warnet, Laras membeli 3 becak bekas. Saat ini pun Laras berkata dalam hati, kisah suksesku semakin nyata. Dalam 6 bulan, ada 15 becak berlogo “Laras Transport” berwarna hijau terang berkeliling desa. Sopirnya dapat pelatihan dasar bahasa Inggris untuk turis. “Ini lebih ringan daripada bayar sewa harian ke rentenir,” kata Pak Tono, matanya berkaca-kaca.

Ketika masuk SMA, Laras memperhatikan kompleks mahasiswa dekat warnetnya. Setiap akhir pekan, mereka antre di laundry yang hanya buka 8 jam sehari. Ia ingat kisah Sara Blakely, pendiri Spanx, yang melihat celah di pasar pakaian dalam. Dengan sisa tabungan dan pinjaman koperasi, ia membeli 4 mesin cuci bekas. Saat ini pun saya telah mengukir kisah sukses hidupku, katanya dalam hati.

“Laundry Kilat Laras” menawarkan dua keunikan: **jemput antar gratis** dan **system poin loyalitas**. Setiap mahasiswa yang mendaftar mendapat kalender kecil bertuliskan quote dari buku favorit Laras: *”Opportunities don’t happen. You create them.”* – Chris Grosser. Dalam 3 bulan, 50 pelanggan tetap terdaftar. Ia mempekerjakan dua ibu rumah tangga tetangga untuk operasional.

Dua tahun kemudian, Laras diundang sebagai bintang tamu di podcast *FODCAS* (Fireside of Dreams and Challenges). Horee aku semakin bulat menuliskan kisah suksesku sendiri. Hostnya, seorang jurnalis ternama, bertanya: “Apa rahasia sampai bisa punya 3 usaha di usia 19 tahun?”

Laras tersenyum. “Saya punya tiga guru: buku, masalah, dan orang-orang di sekitar.” Ia bercerita tentang malam-malam panjang membaca biografi *Amancio Ortega* (pendiri Zara) yang memulai bisnis dari warung kecil, lalu bagaimana kisah *Thomas Alva Edison* mengajarkannya untuk tak takut gagal. “Saat mesin cuci pertama saya rusak, saya ingat kata-kata Pak Ciputra di bukunya: *Entrepreneur adalah pemain sulap yang mengubah masalah jadi peluang.*”

Host tersebut terkesima. “Lalu, apa mimpi selanjutnya?”

“Saya ingin membangun perpustakaan keliling gratis dengan becak-becak saya. Setiap anak berhak punya ‘jendela dunia’ seperti yang saya dapat dulu.”

Kini, di sudut Warnet Laras ada rak berisi 200 buku sumbangan pelanggan. Setiap minggu, 3 becak khusus berkeliling membawa buku-buku itu. Seorang anak SD di pelosok desa sedang asyik membaca *Harry Potter* edisi bekas, sementara Laras di kantor kecilnya merancang proposal untuk aplikasi manajemen laundry berbasis web.

Di meja kerjanya, sticky note kuning menempel: *”Masih banyak halaman yang harus ditulis.”* Persis seperti hidupnya – kisah seorang gadis yang memahami bahwa buku bukan hanya untuk dibaca, tapi untuk dihidupi. Demikianlah kisah suksesku. Saya senang membaca, begitupun kalian harus suka dan membiasakan diri untuk membaca buku buku berkualitas.(Acil) ***

Comment here