mukaOPINI

Jam Tangan, Buku dan Digitalisasi

Jam Tangan, Buku dan Digitalisasi

Meskipun saat ini gawai sudah ada dalam genggaman tangan, namun tampaknya, jam tangan elegan masih dikenakan banyak orang. Padahal, dalam hape jadul atau ponsel cerdas itu,‎ juga sudah tertanam jam digital. Secara logika sederhana, jam tangan itu sudah tidak diperlukan. Kenyataannya, jam tangan selalu dipakai oleh kebanyakan orang.

Sementara buku, yang saat ini sudah banyak elektroniknya, yang disebut dengan E-Book, faktanya, sebagian besar penyuka buku lebih suka baca-baca dari buku tercetak. Tidak menyilaukan mata. Dan selalu asyik dibaca dalam keadaan duduk, tiduran maupun selonjoran.

Digitalisasi, tampaknya tidak memengaruhi kebiasaan orang yang nyaman baca-baca buku. Koleksi bacaan pada setiap penyuka buku, saya sebut saja, para dosen, praktisi ahli di bidang sejarah, jurnalis yang kompeten dengan karyanya, guru yang suka menulis, profesional jenis apapun yang otodidak belajar, di rumahnya itu, saya pastikan punya koleksi bacaan-bacaan bermutu. Dan, mereka pun pasti tahu Link mana saja yang menyediakan E-Book.

Tapi, lagi-lagi, pemerintah selalu punya program baru bahwa perpustakaan harus berubah ke digitalisasi. Namun disamping itu, faktanya, pemerintah juga punya program yang sebetulnya bertentangan dengan program ini. Adanya pojok-pojok baca dan kotak literasi cerdas (Kolecer) masih terus digalakkan. Itu berarti, menurut saya, bacaan tercetak tak bisa digantikan oleh e-book.

Sebagai contoh, selama dua pekan dari tanggal 14 sampai 29 September 2019, pihak penerbit dan toko buku Gramedia, bekerjasama dengan Kecamatan Leuwimunding mengadakan bazar buku murah. Mereka yang tadinya pesimis akan penjualan yang sedikit, faktanya salah besar. Pelajar dan ibu-ibu nyatanya memborong puluhan buku. Artinya, mereka akan membuka buku itu di rumahnya. Pernah dalam sehari, omset pemasukan pembelian buku di ekspo itu tercatat mencapai Rp. 11 Juta. Padahal, dari momen serupa di wilayah lain sebelumnya, ekspo tersebut hanya menerima omset sehari sekira 2 sampai 3 juta saja.

Fakta tersebut, terutama di Kecamatan Leuwimunding, soal digitalisasi perpustakaan, terbantahkan sudah. Digitalisasi itu nyatanya hanya kepentingan program, yang entah kapan bersinergi dengan masyarakat.

Dalam tulisan ini, saya hanya ingin memperlihatkan fakta-faktanya saja. Saya tidak menampilkan data-data, betul. Soal data, silakan lihat di situs lain. Tetapi, peningkatan indeks membaca di suatu wilayah, tidak cukup hanya sekedar berorasi — Ayo membaca buku.

Bagi saya, cara terbaiknya yakni ambil buku itu bacalah sendiri. Ketika ada ekspo atau bazar buku, lihatlah pengunjungnya, banyak atau tidak. Namun, hal itu belum menunjukkan apapun.

Bangunlah kepercayaan membuka bacaan itu ketika di rumah. Orangtua, ayah atau ibu, tidak perlu menyuruh-nyuruh anak agar rajin baca-baca buku. Berikan mereka contoh, ambil buku cerita anak, bacalah dengan bersuara. Tak perlu risau si anak memperhatikan atau tidak, karena kesibukan sang anak, yang sedang asyik dengan mainan mobil-mobilan, atau boneka-nya, tetap akan melihat orangtua mereka sedang membaca buku. Terpenting, kedua telinga mereka mendengarkan. Anak-anak itu selain punya energi melimpah, juga peka dari sisi pendengaran, penglihatan.

Suasana seperti itu, aktifitas yang apa adanya dalam sebuah ruangan keluarga. Orangtua baca buku, anak-anak sibuk dengan mainannya, si ibu menyiapkan makanan, akan membentuk nuansa positif. Saya yakin, menit berikutnya, jika si anak yang, misalnya, sudah duduk di kelas sekolah dasar, ia akan bertanya tentang satu atau dua kalimat yang didengarnya.

Dari ilustrasi itu, memberi contoh -baca buku- telah berhasil. Dengan begitu, tak perlu memerintah anak untuk rajin baca buku. Tokh, panutannya, dalam hal ini orangtuanya sudah berupaya positif, membaca buku di depan anak.

Logika terbalik bisa dicontohkan, sang ayah merokok di depan anak-anaknya. Meski si ayah melarang anaknya agar tidak merokok, nasehat itu akan terbuang percuma. Tokh, sang ayah yang memerintah bukan contoh yang baik.

Memang agak kurang sinkron ya, dengan judul, jam tangan, buku dan digitalisasi. Tapi yang penting, tulisan ini bermanfaat. Nyambung atau tidak, situasi ini telah saya praktekkan di rumah. (EDA)

Penulis adalah penyuka bacaan cetak, penyuka tumbuhan, penyuka kuliner.

Comment here