CERPEN

Tertipu Suara Penyiar

Cerita Pendek

Oleh HEDI YANA

Merdu dan menggugah selera serta timbul dorongan semangat pagi yang baru. Setidaknya itulah yang kurasakan, ketika baru pertama kali mendengar suaranya, sewaktu dia mengudara pada pagi hari yang sedang gerimis. Lantunan seorang announcer di salah satu stasiun radio swasta itu, memang terdengar renyah. Serenyah keripik kentang yang baru ditiriskan dari penggorengan.

“Selamat pagi sobat muda, semoga pagi hari ini menjadi awal yang baik bagi kita semua. Bersama saya, Nisa .. siap menemani dan menyuguhkan dendangan lagu-lagu ceria sampai pukul 09.00 WIB nanti. Ceria ya, karena matahari tetap bersinar meski hujan gerimis,” sang penyiar menyapa lembut dan mengisi harapan pagi penuh harapan.

Aku baru mengetahui, suara seseorang begitu merdunya. Meski belum tahu betul bagaimana rupa wajahnya, aku sudah membayangkan bahwa penyiar yang menyebut namanya Nisa itu berwajah cantik, atau setidaknya menarik dan manis. Terbayang sosok wajah selebritis pavoritku, Fatin Sidqia. Aku tersenyum. Bagaimana kalau aku berkenalan. Just do it. Begitu pikirku.

Aku menajamkan telinga. Menunggu lagu yang tengah diputar, berjudul Last Friday Night. Lagu yang dinyanyikan Ketty Ferry ini memang tak kumengerti seutuhnya, tapi nada dan suara si penyanyi sungguh melambungkan terawanganku. Membuatku sedikit ceria, dan mampu tersenyum di pagi hari yang hujan rintik ini.

Terdengar lagi suara Nisa. Sungguh merdu. Lalu dia menyebutkan sebuah nomer yang diklaim sebagai nomer pribadi sekaligus umum untuk mengudara. Menurut seorang teman hal itu merupakan prosedur standar agar pendengar lebih aktif dan berinteraksi lebih hidup. Aku langsung mencatatnya. Dalam hitungan menit, aku sudah mencoba menghubunginya. Tapi, sebentar, aku agak grogi juga. Kuurungkan niatku untuk menelponnya.Aku memilih sms. Dan memesan lagu pavoritku.

Selang dua menit, Nisa membacakan sms yang kukirimkan. Aku melonjak senang. Siapapun yang berharap, lalu terkabul, pasti mengucapkan terima kasih karena doanya terkabul pada saat itu. Perasaannku membuncah. Benar-benar sebuah rasa suka dan mood yang baru. Mimpi apa aku semalam? Mendengar suara yang begitu merdunya pagi ini.

Padahal belum pernah aku menikmati suara sang penyiar. Mendengarkan radio di zaman era digital ini adalah suatu pantrangan bagiku. Sejak kecil pun, aku memang tak suka dengan radio. Apalagi saat ini, menurutku mendengarkan lantunan suara di bawah mikrofon klasik terasa sangat berbeda, entah kenapa aku menyukainya. Ataukah karena radio juga sudah merambah ke jaringan TV kabel ? Sehingga promosi iklan pun yang dulu hanya berbentuk suara, di layar kaca, berkat perkembangan teknologi, kini ada iklan bergambar di stasiun radio. Tapi suara penyiarlah yang menarik perhatianku. Seluruh argumentasiku luntur. Pendapatku yang membatu langsung longsor, terbawa arus suara merdu sang penyiar yang bernama Nisa. Bahkan, lebih parah ! Aku ingin menjalin hubungan dengannya. Apakah ini jatuh cinta pada suara pertama. Aneh, biasanya cinta itu pada pandangan pertama, setelah melihat rupa, dari mata turun ke hati.Tapi tidak, justru aku malah sebaliknya. Jatuh cinta pada suara pertama.

Atensi laguku diputar. Hatiku terbang. Harus mencari cara supaya bias berkomunikasi dengan orang yang bernama Nisa ini. Dalam bayanganku, Nisa seperti sosok pembaca berita yang energik, tak kenal lelah, dan mampu tersenyum sepanjang hari. Berbeda denganku yang lebih cenderung pendiam.

Aku berangkat kerja. Dalam perjalanan, aku kembali sms nomer yang disebut Nisa. Kalimatnya hanya ucapan terima kasih karena telah memutarkan lagu pavoritku.Tak lama kemudian, Nisa membalas dengan ceria, dan bahkan menggodaku.

“Oh gpp kok. Udah biasa. Akan lebih bagus lagi manakala yang mengucap terima kasih mentraktir makan siang…hehe,” begitulah sms-nya, yang langsung membuat jantungku, bergetar lebih cepat. Rossi atau Pedrosa sekalipun, kalah cepat oleh detak jantungku yang lagi gembira, akibat menerima sambutan hangat dari penyiar yang belum pernah kutemui ini.

Aku bilang dalam sms itu, menyanggupi. Lalu dia menyebut tempat yang tidak jauh dari kantorku, juga dekat dengan kantornya. Lalu dia pun menutup kalimatnya dengan ancaman yang romantis. “Jangan kaget ya, kalau nanti saya terlihat lebih wahh, daripada yang dibayangkan.” Dia pun tertawa. Aku jawab dengan tawa. Tapi dalam hati, aku pun berpikir. Dia mungkin bercanda kali ya, dengan suara merdunya itu, aku yakin dia menarik dan cantik. Atau seperti Angelina Jolly yang menantang. Itulah bayangan bebasku.

Tibalah waktu makan siang. Aku datang lebih awal. Duduk di meja tengah, karena meja pojok sudah penuh. Aku menatap pintu, datanglah seorang ibu dengan perawakan biasa, tapi agak gemuk. Aku langsung menepisnya.Karena aku yakin bahwa yang namanya Nisa, adalah orang yang di belakangnya, sosok yang berjalan di belakang orang gemuk itu semampai berambut lurus agak bergelombang. Dan berwajah tirus. Setidaknya itu dalam gambaran pengamatanku. Dan, betullah orang sedang kutatap, dalam bayanganku itu tersenyum telak padaku.

Tapi aku kecewa, orang yang dimaksud, justru menyantroni meja yang sudah diduduki seseorang yang juga cewek seumurannya. Dan alangkah kagetnya ketika ibu yang katakanlah aku sebut tadi gemuk, dengan wajah yang jauh dari bayanganku. Sudah menyapaku dengan suara merdu yang baru kukenal pagi gerimis tadi.

Dia menyapaku dengan senyumnya. Aku kenal betul suara penyiar yang dipanggil Nisa ini. Tak ayal, dia kini dihadapanku. Intonasi maupun suaranya persis seperti suara mengudara itu.Senyumnya terlihat biasa, yang sebetulnya dalam bayanganku juga masih terlalu jauh. Nilai senyum dalam realita di depanku ini kunilai 6 poin, sementara dalam bayanganku, nilai senyum wajah Nisa yang terbayang nyaris sempurna yakni bernilai 9 poin. Sialan. Jauh sekali dengan bayanganku.

Dan yang lebih parah, justru usianya sudah jauh lebih tua 10 tahun dariku, begitulah aku taksir. Ada sedikit kerutan yang mencolok di dekat kelopak matanya yang jenaka. Aku masih 20-an, dia sudah 30-an. Wahhh..dalam hati aku kecewa dan aku tak bisa berbuat banyak. Sungguh mati aku ingin menjalin hubungan dengan Nisa dalam bayanganku.Seorang penyiar energik, menarik, semampai, seumuran denganku. Keinginnanku itu kini hambar. Pupus sudah. Berganti dengan makan dan obrolan biasa, seperti makanan enak tapi kurang pas dalam rasa asin maupun campuran bumbunya. Dan aku harus menelan mentah-mentah imajinasiku.Bayanganku itu tak seindah realitanya.

Tapi seperti yang Nisa bilang, terima saja apa adanya. Seperti pagi hari tadi yang gerimis. Dari sini aku ambil hikmah, tak semua suara merdu punya wajah dan fisik rupawan. Yang maha kuasa betul-betul adil, dan maha adil. Suara merdu itu milik wanita gemuk berusia 38 tahun. Punya banyak fans yang rata-rata berakhir kecewa setelah ngopi darat. Tapi Nisa tetap tersenyum. Seolah tidak peduli. Sama denganku, sama-sama mendapatkan pengalaman.

Catatan : Cerpen ini pernah diterbitkan Majalah Sigap

Penulis tinggal di Majalengka Jawa Barat. Senang membaca buku bergenre novel.

Comment here