OPINI

ICAS-FEST 2020, Spriti Festival Internasional di Tengah Pandemi

Oleh: Rendy Jean Satria*

MACAKATA.COM – Tidak ada kata pause jika sedang membicarakan kebudayaan. Sifatnya yang dinamis – selalu melahirkan impresi-impresi kebaruan, menjadi pengikat, penguatan dan lalu lintas pemikiran untuk mengoalkan satu paradigma yang bulat. Sesuatu yang bernas akan bisa dikemukakan di setiap dialog, maupun pertunjukan yang memiliki medan kebudayaan.

Internasional Culture Arts Space (ICAS) Fest 2020, digelar oleh Pascasarjana Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung pada 21 Oktober s/d 6 November,  merupakan gelaran yang locusnya berada pada penggalian kebudayaan lokalitas dengan pendekatan kontemporer. Di ICAS-Fest kebudayaan menjadi kata kerja, yang terus diteliti, diberi ruang seluas-luasnya bagi segala macam penetrasi kebaruan.

Digital – Virtual – Cultural, tiga kata itu menjadi tema ICAS-Fest. Digital menjadi layar, dimana ajang festival ini berlangsung. Virtual menunjukkan kebaruan dalam menampilkan karya yang tidak terbatas ruang dan ad hoc,  dan Cultural menjadi locus sentral bagi gelaran ICAS-Fest.

Relevansi Spiriti ini akan menjadi titik temu, diantara audiensi dari mancanegara dan dalam negeri – yang akan menjadi momentum ajang pertautan tatap muka – dalam kekaryaan, pameran, film screening, fashion show, exhibition, musik, tari, workshop, diskusi dan international confference. Berbagi narasi terkait gagasan-gagasan estetika baru selama berkarya di masa pandemi.

Alih-alih mengalami degradasi intelektual karena pandemi – para pengkarya yang telah dikurasi karyanya ini, justru menambal lubang-lubang kebaruan yang selama ini luput lewat karya yang ditampilkan. Para seniman di ICAS-Fest Pascasarjana ISBI Bandung menjawab tantangan itu.

Merespon Jaman

Nyatalah oleh kita saat ini, perkembangan sejarah modern menemukan agresivitasnya pada saat sekarang. Semua orang – tak terkecuali para inisiator, konseptor ICAS-Fest 2020 melakukan kompromi pada kedigdayaan jaman, kedigdayaan teknologi. Medium zoom, menjadi penanda kompromi itu.

Perbedaan ruang dan waktu ini akan menjadi circle untuk menciptakan kriteria kebaruan tak henti-henti. Kriteria seniman pada ICAS-Fest 2020 adalah apa yang pernah dikatakan pemikir Yasraf Amir Pilliang –  di dalam seni juga ada kesadaran tentang sifat temporalitas seni, dimana setiap proses berkarya, sama artinya dengan proses mencari lagi landasan, paradigma, referensi dan kriteria-kriteria baru.

Kerangka berpikir baru inilah, yang kemudian memungkinkan perluasan pengalaman jejaring antar disiplin keilmuan – dalam merespon kebudayaan lokal maupun kotemporer.

Kondisi hari ini menjadi daya pendorong – bagi Dr. Yanti Heriyawati, S.Pd., M.Hum selaku inisiator dari ICAS-Fest 2020 dan tim terkait, untuk merespon jaman yang kini serba tidak pasti, karena dikerangkeng oleh pandemi Covid-19, dengan tetap produktif lewat cara kerja Digital dan Virtual

Di ICAS-Fest berbagai acara dibuat dengan mendedah segala aspek-aspek kebutuhan jaman hari ini lewat pisau bedah Cultural.  Dimulai dari workshop traditional music and space, menghadirkan pembicara dari Thailand, Arsenio Nicolas dari Mahasarakham University Thailand. Arsenio menawarkan eksplorasi musik kalingga dan musik hose maseda dari Thailand, dengan musik bambu.

Pada 26 Oktober, ICAS-Fest, mengundang narasumber Deni Yudiawan (Deputy Manager Pikiran Rakyat Event) dan Tarrence Palar (Brand Communication Manager Harian Kompas) untuk berbagi ilmu inkubasi bisnis kepada peserta tatap muka, mengenai penguatan wirausaha seni untuk investasi dan imunitas budaya di era digital. Sebagai sebuah bentuk tantangan jaman yang memerlukan keahlian dalam mengorganisasi seni dan wirausaha.

Di dalam penguatan jalannya sebuah festival maupun event diperlukan adanya catatan yang kritis. ICAST-Fest juga mengadakan program coaching clinic for writing festival yang akan menyaring penulis-penulis dari berbagai daerah untuk mengikuti lomba kritik seni dengan tajuk – Menuliskan Festival, dinilai oleh para ahli dan juri seperti Arca Putu Fajar Arcana (sastrawan dan wartawan senior Kompas), Dr. Yanti Heriyawati (Direktur Pascasarjana ISBI Bandung), dan Hazmirullah (Redaktur H.U Pikiran Rakyat).

Pada tanggal 3-6 November ditampilkan pertunjukan berturut-turut dari karya beberapa seniman via zoom ICAS-Fest. Karya-karya mereka berangkat dari olah riset, data lapangan dan peruncingan value estetik.

Di antaranya ada pemutaran film dokumenter berjudul The Voices in Pangandaran, (sutradara Yanti Heriyawati), Pertunjukan Tari Gunem Wadasan Nopeng (Koreografi Juju Masunah, Yoyoh Siti Mariah dan musik oleh Lili Suparli), dan musik eksplorasi berjudul Tanaman, Bebunyian, & Meditasi (musisi Anggung Suherman & Ryan Anjani).

Kemudian pada 4 November para pengkarya akan berkolaborasi di antaranya pertunjukan musik Kalingga Udlot-Udlot, (dari seniman Indonesia-Thailand-Filiphina dan Mahasiswa Pascasarjana ISBI Bandung), Performance dan Musikalisasi (Wail dan Wita), pertunjukan tari WIRAJIWA (penari Wina Rezky), dan Tari Pesisir Nusa Penida (penari Ni Made Arshiniwati).

Lalu pada tanggal 5 dan 6 November ada pemutaran film dokumenter hasil olah riset dan lapangan berjudul Segara Garam (sutradara Yanti Heriyawati), kemudian pertunjukan tari Renaning Pamayang (karya Een Herdiani), Pertunjukan Musik Tradisional berjudul Beber Layar (musisi Ismet Ruhimat) dan Beluk (dari musisi lokal Tarjo Sudarsono), yang akan bersenandung teks Laut Ladang Ilmu dan Syukur (teks Afri Wita) dan Pameran Virtual Fotografi berjudul Pesisir (karya Yanti Heriyawati).

Wujud kongkret kekaryaan ini menjadi stimulus antara kerja riset dan penyajian karya lewat virtual. Kerja riset pada ranah Cultural menjadi modus utama para pengkarya yang tampil di ICAS-Fest.

Selain menampilkan pertunjukan via virtual, pada tanggal 5-6 November ICAS-Fest juga menghadirkan  acara inti yakni international confference SoCIETY 5.0 dengan tema “Generation Tradition, Values, and Innovation for The Global Social Challenges” mengundang para pakar dan ahli dari dalam maupun luar negeri.

Di antaranya Prof. Dr. Een Herdiani (Rektor ISBI Bandung), Dr. Yanti Heriyawati, S.Pd., M.Hum (Direktur Pascasarjana ISBI Bandung), Luhut Binsar Panjaitan (Mentri Kordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi), Prof. Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro (Mentri Riset dan Teknologi), dan Dr. Ismet Ruchimat, S.Sen (Dosen ISBI Bandung)

Dari luar negeri, ICAS-Fest mengundang Prof. Tony Bennet dari Australia yang bergerak dalam kajian sosiologis, Peter Kulling Ph.D  dari University of Guelph yang akan berbicara hal-ihwal innovations with digital media for performance, dan Rachmi Diyah Larasati, Ph.D dari University of Minnesota Minneapolis, akan menyampaikan presentasi Cultural Inquiry? Methodology and Positionality. Internasional Confference ini akan dimoderatori oleh Afri Wita, MA dan Shuri Mariasih Gietty Tambunan, Ph.D.

Tentunya ICAS-Fest 2020 yang diselenggarakan oleh Pascasarjana ISBI Bandung bisa menambah spiriti kebudayaan bagi khalayak untuk terus berinovasi terus menerus dari disiplin keilmuan apapun dalam locus cultural.***

Rendy Jean Satria, penulis adalah penyair, essais dan pengamat ICAS-Fest 2020

Comment here