BERITAPENDIDIKANTOKOH

Merindukan Rumah Aman Anak

Penulis : Herik Diana

MAJALENGKA – macakata.com – Rumah itu dijaga ketat oleh kepolisian, 24 jam pengamanan. Dikunjungi secara berkala oleh psikolog, pendamping sosial maupun aktifis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) serta aktifis lain yang erat kaitannya dengan soal penanganan dan pemulihan mental anak. Pengunjung yang datang hanya pihak orangtua kandung. Orang lain dilarang masuk. Rumah ini juga dirahasiakan. Namun itu tergantung kebijakan di daerahnya masing-masing.

Di Jakarta, rumah ini dirahasiakan, karena ada Peraturan Gubernur (Pergub) yang mengaturnya. Itulah Rumah Aman Anak (RAA). RAA ini difungsikan sebagai upaya pemulihan mental, psikis dan semangat anak yang menjadi korban kekerasan dan seksual anak. Mereka harus ditampung di rumah yang nyaman, aman dan tidak terganggu oleh orang sembarangan yang ingin bertanya-tanya dan mengundang trauma. Majalengka, belum ada Rumah Aman Anak. Sementara saat ini, pendampingan dan pemulihan mental anak masih dilakukan di rumah orangtuanya masing-masing.

Rumah Aman Anak atau RAA ini, salah satu contohnya ada di wilayah Bogor Jawa Barat. Informasi gambaran ini berdasarkan penuturan langsung dari aktifis Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Majalengka yang pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Namun, RAA ini berbeda dengan Balai Pemasyarakatan atau Bapas. Bapas diperuntukkan sebagai tahanan bagi para pelaku tindakan kriminal/kejahatan yang dilakukan oleh anak di bawah usia 12 tahun. Bila ada anak mencuri misalnya, maka si anak yang menjadi pelaku ini, tidak dibolehkan masuk sel tahanan bersama penjara orang dewasa. Karena di Majalengka belum ada Bapas, maka pelaku ini dibawa ke Bapas yang ada di wilayah Kabupaten Cirebon.

Menanggapi soal belum adanya Rumah Aman Anak, Anggota Dewan dari Fraksi PKS, yang menjabat Wakil Ketua DPRD Majalengka, Dhora Darojatin mengatakan, mengenai urgensi pentingnya tempat rehabilitasi, rumah aman anak, memang telah seharusnya diusulkan untuk ada khususnya di Kabupaten Majalengka. Pihaknya telah berkomunikasi dengan Dinas Sosial dan Dinas Anak tentang rencana usulan tersebut. Bahwa pembangunannya nanti harus nyaman dan dirahasiakan.

“Yang pasti adalah tempat yang nyaman dan rahasia. Ya, harus rahasia, hanya kalangan tertentu saja bahwa tempat atau rumah tersebut adalah rumah perlindungan.” ungkapnya, pertengahan November 2020 lalu.

Dhora menjelaskan tempat rehabilitasi atau pendirian rumah perlindungan dan trauma center (RPTC) di Majalengka merupakan tempat pemulihan dan pendidikan. sehingga secara otomatis berfungsi untuk memulihkan kesakitan. Proses pemulihan harus berlangsung di tempat nyaman dan rahasia. Nantinya, di RPTC ini harus ada seorang psikolog yang akan membantu pemulihan mental dan psikis anak, serta keluarga yang menjadi korban, maupun anak yang terjerat kasus hukum.

“Juga harus 24 jam. Tempat itu nantinya harus menjadi tempat yang betul-betul aman dan nyaman untuk pemulihan mental dan psikis,” tandasnya.

Dhora menjelaskan saat ini Majalengka tengah membahas rancangan peraturan daerah (raperda) perlindungan anak, sehingga nantinya akan disahkan menjadi Perda. pihaknya berharap, adanya Perda Perlindungan Perempuan dan Anak ini, bisa lebih menekan angka kasus.

“Mari bersama-sama mengawal, supaya Perda itu nantinya tidak hanya tersimpan dalam bentuk kertas saja.” ujarnya.

Sementara itu, berdasarkan catatan LPA Majalengka, kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur terus meningkat. Dalam periode dua tahun yakni 2019 terdapat 17 kasus pelecehan seksual. Sementara di tahun 2020, sejak Januari hingga Oktober, LPA mencatat telah ada 23 kasus.

‎Terus meningkatnya jumlah kasus pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur, tidak diimbangi dengan adanya tempat rehabilitasi, rumah aman anak maupun balai pemasyarakatan. Jika mengacu pada amanah yang tertera dalam UU tentang Perlindungan Anak, idealnya, setiap Kabupaten/Kota, tanpa melihat jumlah kasus yang terus meningkat, harus punya tempat-tempat perlindungan semacam itu. Tujuannya, untuk menampung anak yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual, sekaligus melindungi keluarga anak yang menjadi korban. Sejak Juli 2019 lalu, Kabupaten Majalengka telah menyandang predikat sebagai “Kabupaten Layak Anak”.

Bila melihat peranan LPA, maupun pemerintah atau kalangan tertentu yang mau mengadvokasi dan memberikan panduan‎ pembinaan, yang bertujuan untuk memulihkan kondisi mental, psikis maupun memotivasi anak untuk masa depannya kelak, perlu ada tempat khusus untuk hal-hal yang bersifat advokasi tersebut.

Berdasarkan pengalaman para pengurus LPA yang mengadvokasi anak dan keluarga korban, mereka selalu riskan dan risi/canggung setiap kali melakukan advokasi. Itupun dirasakan juga oleh keluarga yang bersangkutan. Mengingat kasus pelecehan dan kekerasan seksual selalu menimbulkan stigma negative di lingkungan tempat tinggal.

Sebagai contoh dan perbandingan, dari jumlah kasus yang telah masuk dan telah dilakukan pendampingan advokasi oleh LPA Majalengka. Marilah kita melihat bagaimana, contoh tiga kasus anak‎ dan keluarganya.

  1. Kasus Anak 08 Tahun

Terjadi di salah satu desa di Kabupaten Majalengka. Pada saat melakukannya, dua tahun lalu, pelaku telah memperkosa anak usia 08 tahun, masih kelas 03 sekolah dasar‎. Dia melakukannya hingga lebih dari 20 kali. Diperkosa di kebun, rumah dan tempat-tempat sepi. Sebagai gambaran, anak usia 08 tahun ini tinggal bersama tetanggannya yang menjadi pelaku. Sementara ibu si anak diketahui merupakan seorang pekerja seks, jarang berada di rumah.

Sehingga, si anak usia 08 tahun ini, tinggal bersama tetangganya yang merupakan kakak dari si ibu anak 08 tahun itu. Bahkan, hingga pelaku telah ditahan oleh pihak kepolisian Polres Majalengka, sang ibu belum pernah memunculkan batang hidungnya menemui si anak. Bahkan, ketika LPA sendiri mengadvokasi dan memberikan arahan kepada anak, maupun keluarga yang mengadopsi (sekarang si anak diadopsi oleh sebuah keluarga yang peduli dan siap membiayai anak, masih di wilayah Majalengka), si ibu kandung anak (korban) belum terlihat menengok anaknya itu.

“Kami kesulitan membendung pertanyaan yang muncul. Bagaimana nasib masa depan anak itu kelak? Sementara waktu itu (sebelum pelaku ditangkap) banyak para tetangga yang bergunjing dan bertanya-tanya, sementara hal ini merupakan sebuah aib. Kasihan pada si anak, dia masih punya masa depan. Untunglah sekarang ada orang baik yang mengadopsinya.” ujar salah satu saudara sekaligus tetangga dekat rumah korban.

  1. Kasus Anak 11 Tahun

Terjadi di salah satu desa di Kabupaten Majalengka, 13 Juni 2020 lalu, orangtua anak tersebut baru mengetahui bahwa anaknya yang baru berusia 11 tahun sedang hamil dengan usia kandungan 6 bulan. Pada 21 Juni 2020, pihak keluarga melaporkan ke LPA, sekaligus pada saat itu melapor ke Satreskrim Polres Majalengka‎. Anak 11 tahun ini merupakan anak pertama. Ayahnya buruh harian lepas dan ibunya petani/ibu rumah tangga biasa. Saat mengetahui anak pertamanya hamil, ayahnya jatuh pingsan. Sesi advokasi yang dilakukan LPA pun sempat terhenti.

Berdasarkan pengakuan dari anak tersebut, pelaku yang memperkosa dirinya ada dua orang, yang pertama Uwa-nya dan yang ke-dua Mamangnya (pamannya). Pengakuan bahwa pelaku lebih dari satu ini diungkapkan pada bulan Agustus 2020.

Meski diketahui hamil pada bulan Juni, pihak orangtua tidak melakukan tindakan apapun, semacam menggugurkan kandungan anak. Sehingga, pada 19 September 2020, anak dari hasil diperkosa oleh Uwa dan Mamangnya itu lahir dengan selamat. Bayinya seorang perempuan. Proses persalinannya memakan waktu seminggu penuh. Saat proses melahirkannya, didampingi terus oleh pihak desa yakni sekretaris desa dan LPA. Tadinya masih di rumah sakit yang ada di wilayah Kabupaten Majalengka, lalu dirujuk ke salah satu rumah sakit yang ada di Cirebon.

Tadinya, status anak yang lahir tersebut masuk dalam Kartu Keluarga (KK) sekretaris desa, namun saat ini, berdasarkan pengakuan ibu dan ayahnya, anak yang lahir karena kecelakaan itu, masuk pada Kartu Keluarga orangtua anak yang menjadi korban, tertulis sebagai anak ke-tiga. Si anak yang baru lahir diasuh oleh ayah dan ibu si anak. Sementara si anak yang baru melahirkan, rencananya akan kembali ke sekolah, mesantren di salah satu pondok.

“Anak yang lahir itu tidak berdosa. Ibunya yang melahirkannya juga tidak pernah menyangkanya, karena dia masih kecil dilihat dari usianya. Kami sebagai orangtua hanya tidak tahan dengan gunjingan tetangga.” ujar ibu orangtua anak yang menjadi korban, 37 tahun.

  1. Kasus Anak 12 Tahun

Dalam kasus ini, yang menjadi pelaku justru si anak. Terjadi di wilayah salah satu desa di Kabupaten Majalengka. Anak tersebut mencuri ponsel. Namun sebelumnya, si anak belum pernah terdengar mencuri. Akan tetapi sudah sebulan, sebelum terkena dan dipukuli karena mencuri, anak ini diketahui lebih sering melakukan aktifitas mencuri. Faktor kesulitan ekonomi dan adanya kesempatan, membuatnya memberanikan diri untuk mencuri.

LPA melihat kasus ini berdasarkan UU Perlindungan Anak No.17 tahun 2016 dan UU Sistem Peradilan Pidana Anak No. 11 Tahun 2012, yang khusus menangani anak yang menjadi pelaku atau anak yang berhadapan dengan hukum secara langsung.

Bahwa jika pelaku usianya belum 12 tahun, maka hukuman bagi anak tersebut, dikembalikan kepada orangtuanya. Wajib lapor atau dalam istilah hukum restorasi justice. Namun, jika anak pelaku itu berusia lebih atau di atas 12 tahun, maka anak tersebut tidak dibolehkan di penjara bersama satu sel dengan tahanan lainnya. Namun harus di sel/penjara yang berbeda dan itu harus ditempatkan di Balai Pemasyarakatan (Bapas). Sementara di Majalengka saat ini belum ada. Si anak yang wajib lapor tersebut, juga terus didampingi LPA Majalengka setiap kali wajib lapor. Saat ini si anak berada di Bapas Cirebon.

“Namanya juga anak-anak, meski kami sebagai orangtua merasa malu dan bersalah. Akan tetapi tidak sebagaimana mestinya harus dipukuli,” keluh orangtua anak, yang anaknya dipukuli setelah mencuri.

Menanggapi hal ini, Ketua LPA Majalengka, Aris Prayuda mengatakan dalam dua tahun terakhir ini (2019-2020) memang ada peningkatan jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak. Tahun 2019 ada 17 kasus. Tahun 2020, dari Januari sampai Oktober 2020 tercatat sudah ada 23 kasus.

“Jumlahnya terus bertambah, karena bulan November ini juga ada kasus baru. Namun, data tersebut adalah data yang melaporkan, penomena gunung es bisa saja terjadi lebih banyak kasus,” ungkapnya, saat ditemui di rumahnya, pertengahan November 2020.

Aris menyebutkan sejumlah kemungkinan faktor kasus pelecehan seksual terus meningkat, diantaranya faktor masa pandemi yang mengharuskan orang lebih banyak kerja di rumah. Adanya akun-akun media sosial, yang setiap orang hampir punya akun, sehingga kalaupun tidak berani melapor ke pihak aparat, biasanya akan curhat dengan kalimat kiasan maupun vulgar di akun media sosial tersebut. Sehingga, kalaupun LPA tidak memantau atau luput dari pemantauan, selalu ada pihak tertentu yang mereview tulisan dalam akun medsos semacam facebook tersebut.

“Ketiganya, faktor internet yang hingga saat ini masih banyak situs-situs dewasa yang gampang di akses,” ujarnya.

Aris pun menjelaskan, bahwa antara pelaku dan korban, dalam setiap kasus yang ditemui, rata-rata merupakan orang terdekat di lingkungan tersebut. Yang biasanya mencakup tetangga, saudara dekat dan serumah. Faktor lainnya yakni soal ekonomi, adanya kesempatan dan konflik antar kelurga.

“Faktor lain yakni kurangnya kesibukan. Jika kurang beraktifitas, biasanya otak selalu ngeres dan berfantasi ke hal-hal yang begitu. Sementara pasangan resminya tidak atau belum ada,” ujarnya.

Ditanya tentang predikat “Kabupaten Layak Anak”, Aris mengatakan, berdasarkan UU tentang perlindungan anak yang telah mengalami perubahan hingga tiga kali, dan yang terbaru UU No. 17 tahun 2016 tentang perlindungan anak‎, idealnya setiap kabupaten/kota harus punya tempat perlindungan seperti tempat rehabilitas, rumah aman anak, balai pemasyarakatan.

Aris menjelaskan soal/tentang pendirian rumah perlindungan dan trauma center (RPTC) ini termaktub dalam Permensos 102 hukum 2007. Sementara soal pendirian Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang dikhususkan untuk anak sebagai pelaku, pendirian Bapas itu dijelaskan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 12 tahun 1995 tentang pemasyarakatan. Pasal 4 ayat 1 dan 2 mengamanatkan bahwa Bapas didirikan di setiap kabupaten/kota.

“Idealnya memang harus ada. Kami pun terus mendorong pemkab untuk segera membuat tempat-tempat penampungan tersebut. Kami pun mendukung adanya Perda Perlindungan anak segera hadir,” ungkapnya.

Soal sanksi pidana bagi pelaku kekerasan dan pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur, Aris menjelaskan tentang pasal 81 dan 82 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 17 tahun 2016. Bahwa selain ancaman penjara maksimal 15 tahun, pelaku juga dikenai denda paling banyak 5 milyar. Sementara, pasal 82, mencantumkan lebih spesifik lagi, yakni apabila dilakukan oleh orangtua, wali, yang punya hubungan keluarga, pengasuh, pendidik, tenaga pendidik, aparat dan aktifis perlindungan anak, dan yang melakukannya secara bersama-sama, pidananya ditambah sepertiga, yakni menjadi 20 tahun penjara ditambah denda dari sepertiga dari lima milyar tersebut.

Sementara pasal 19 ayat 1 UU tentang Sistem Peradilan Perlindungan Anak (SPPA) yakni UU No. 11 tahun 2012 mengandung ketentuan tentang penulisan identitas anak untuk pemuatan di media cetak dan elektronik. Bahwa, identitas anak sebagai pelaku, korban, saksi, wajib dirahasiakan dalam penulisan berita media cetak maupun elektronik.

Dalam ayat 2, identitas anak yang dimaksud diperjelas menjadi nama anak pelaku, korban, saksi, nama orangtua, alamat rumah, wajah, dan hal-hal lainnya yang mengungkapkan jati diri anak pelaku, korban maupun saksi. Pelanggar pasal ini dalam UU tersebut bisa dipenjara paling lama 5 tahun. Disertai denda minimal Rp. 500 juta.

“Artinya, dari sisi hukuman sudah sangat ngeri. Termasuk jurnalis yang menuliskan alamat atau identitas anak secara detail, itu dilarang. Nama desa pun tak boleh disebutkan,” ungkapnya.

Sementara itu, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Majalengka, Yati ‎Sumiati mengatakan pihaknya punya program preventif dan pencegahan hingga ke desa-desa dan masyarakat. Pihaknya juga telah membentuk satgas KDRT yang melibatkan unsur-unsur masyarakat.

“Tujuannya, supaya anak-anak dan kalangan perempuan terlindungi. Sudah terbentuk di 300 desa lebih di Majalengka,”ungkapnya.

Yati menambahkan, soal rumah aman anak dan tempat rehabilitasi, pihaknya telah mengusulkan akan membuat rumah aman anak dan tempat rehabilitasi. Usulan tersebut telah disampaikan ke pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang bertujuan sebagai upaya untuk memulihkan kondisi mental dan psikis anak di tempat yang lebih refresentatif.

“Tidak tergantung pada menunggu Perda disahkan dulu, ya, soal rumah aman anak ini, kami sudah mengusulkan bulan lalu. Semoga tahun depan dapat terealisasi.” ujarnya.

Senada, Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak pada DP3AKB Majalengka, Ria Ristiana mengatakan, pihaknya punya rekan kerja untuk penanganan kasus. Selama ini pihaknya berterima kasih banyak, karena telah dibantu oleh rekan-rekan dari LPA. Hal ini merupakan tugas bersama mencegah kekerasan dan pelecehan terus meningkat.

“Sedang proses, rumah aman anak (RAA) sedang diusulkan agar segera dibangun. Itu salah satu cara untuk menekan kasus, supaya tidak terus meningkat. Kita usulkan ke Provinsi. Semoga tahun depan ya.” ujarnya.

Lain halnya menurut kacamata seorang Psikolog di Majalengka, Meina Shamullaeli mengatakan, menanggapi soal pentingnya keberadaan rumah aman anak, tempat rehabilitasi atau balai pemasyarakatan anak, pihaknya memang memandang tempat itu dinilai penting. Rumah aman anak atau apapun namanya kelak, nanti bisa digunakan sebagai tempat anak untuk berlindung ataupun trauma healing. Alasannya, karena terkadang, ketika kekerasan itu terjadi di lingkungan rumah/keluarga, maka sangat penting adanya tempat untuk anak maupun orangtuanya untuk berlindung. Apalagi, jika anak tersebut tersandung kasus, yang menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual.

“Penting, bahkan sangat penting. Mengingat keberadaannya (rumah aman anak, atau apapun namanya kelak) yang bisa membuat nyaman kondisi anak, pada saat pemulihan mental. Maupun, nantinya, bisa juga dimanfaatkan untuk konseling dan pencegahan di lain kesempatan,” ungkapnya.

Meina menjelaskan, untuk melindungi mental anak sekaligus perlindungan dan pemberdayaan terhadap anak, diakuinya harus ada peraturan daerah (perda). Saat ini memang masih berbentuk raperda yang sedang dibahas. Pihaknya berharap, perda tersebut nantinya diharapkan menjadi salah satu rujukan dalam penanganan kekerasan, pelecehan terhadap anak maupun perempuan, dan diharapkan dapat menekan kasus kekerasan seksual maupun kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang terjadi.

“Oleh karena itu, mari kita support dan kawal bersama proses Raperda itu. Maupun setelah raperda tersebut disahkan dan menjadi Perda,” ujarnya.

Ditanya tentang makin meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual anak, Meina menjelaskan memang ada sejumlah faktor, diantaranya faktor lingkungan, keluarga dan faktor psikologis. Faktor Lingkungan dimungkinkan, karena kurangnya support system di dalam rumah atau keluarga, kurang pengawasan, kurang komunikasi, rendahnya pendidikan agama dan karakter, pengaruh teman sebaya, dan unsur lainnya. Sementara faktor ekonomi juga menjadi ambil bagian dari modus seseorang menjadi pelaku. Faktor Psikologis, korban cenderung pribadi tertutup, tidak berdaya, kehilangan kasih sayang keluarga. Sementara untuk Pelaku, kenapa dia melakukannya, kemungkinan pernah menjadi korban kekerasan seksual, pengaruh teman sebaya, tontonan pornografi/kekerasan, alkohol dan lain sebagainya.

“Jadi faktor yang mempengaruhi orang berbuat, melakukan pemerkosaan terhadap anak itu kompleks, tak hanya satu faktor saja. Satu sama lain bisa saling berkaitan,” ujarnya.

Langkahnya, menurut perempuan yang setia mengenakan kudung simpel ini, mengatakan, ia menyarankan soal pendampingan untuk anak yang menjadi korban, pertama harus diamati dulu kasusnya, faktor-faktor apa yang mempengaruhinya, sehingga terjadi peristiwa kekerasan seksual. Ke-dua, adalah trauma healing yaitu mengobati trauma yang terjadi pada anak korban/anak pelaku (karena sebagian anak pelaku pun mengalami trauma) dengan menggunakan pendekatan psikologis, membangun support system, yaitu bagaimana lingkungan (keluarga, teman, tetangga, sekolah) dapat mendukungnya, dia bisa kuat dan menerima kejadian dengan baik serta membantu anak korban/anak pelaku menjadi pribadi yang lebih baik dan bisa kembali ke lingkungan sosialnya.

Terpisah, aktifis Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Kabupaten Majalengka, bagian divisi program penanganan, Beben Badruzzaman mengatakan, meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual anak di bawah umur, menurutnya karena ada faktor kurangnya edukasi kesehatan reproduksi (kespro) terhadap anak, sehingga membuat anak tidak ada kewaspadaan dini terhadap lingkungan. Seharusnya, pemerintah daerah lebih gencar lagi meng edukasi anak-anak, baik lewat pendidikan formal, non-formal ataupun lembaga lainnya seperti perpustakaan desa, taman-taman baca maupun lewat program di luar sekolah lainnya.

“Faktor lain, yakni ketabuan orang tua dalam membicarakan seksual dan kesehatan reproduksi (kespro) membuat mayoritas orang tua, kurang bisa mengajarkan, mengenalkan dan mengedukasi anak-anaknya dalam pengetahuan tersebut,” ujarnya.

Beben menambahkan, padahal soal mengedukasi seks, dengan cara membicarakannya secara intens di tingkatan keluarga, itu sangat penting untuk anak-anak. Hanya saja, orangtua juga harus pandai mengkomunikasikannya dengan bahasa yang dipahami mereka. Namun, dalam hal cara mengkomunikasikannya itu, para orangtua juga perlu mendapatkan pembekalan dan bimbingan serta arahan dari orang-orang atau kalangan yang ahli di bidang kesehatan dan hubungan sosial.

“Yang harus diperhatikan, bagaimana cara menyampaikannya, berkomunikasi terhadap anak tentang seks. Artinya, selain edukasi ke anak, edukasi kepada orang tua pun tidak kalah penting.” jelasnya.

Beben menuturkan, terkait pemulihan harus ada pendampingan anak korban yang terencana dan terprogram yang sustainable, dalam kurun waktu yang panjang, minimalnya dua tahun. Edukasi kepada anak itu sangat penting, mengedukasi kepada orang tuanya pun sangat penting. Saat ini hanya tersedia pusat rehabilitasi internal yang ada di Dinas Sosial (Dinsos) yang notabene masyarakat luar segan untuk berkunjung ke sana.

“Sebetulnya, harapan kami, juga harapan sebagian masyarakat, Majalengka harus punya klinik konseling terpadu yang terbuka untuk umum, yang refresentatif. Baik itu dikelola oleh BUMD ataupun oleh dinas/swasta. Namun harus jauh dari orang-orang kedinasan,” ujarnya.

Sementara, ketika ditanya kecenderungan orang berbuat mesum, memperkosa anak di bawah umur, Beben berpendapat, secara tidak langsung adanya faktor pandemi cukup mempengaruhi. Mengingat banyaknya waktu luang orang untuk menonton video porno, sehingga memikirkan hal-hal negatif. Akhirnya, efek klimaksnya itu tekanan hidup di masa pandemi harus tersalurkan.

“Berbuat sex meningkat, karena banyaknya waktu luang untuk memegang ponsel dan pencarian pasangan yang memudahkan mereka. Hanya lewat aplikasi ponsel cerdas, mereka duduk sambil berkomunikasi memainkan jari. Sebelum pandemi, kecenderungan orang memegang ponsel, agak jarang bila dibandingkan masa pandemi saat ini,” tandasnya. ***

——— Tulisan ini bagian dari program Story Grant Pers Mainstream Jawa Barat, yang digelar oleh Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) kerjasama dengan Friedrich Naumann stiftung fur die Freiheit (FNF) dan Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Comment here