Oleh: Rendy Jean Satria
Semacam Catatan Prosa ‘Festival International Culture Arts-Space 2021 Pascasarjana ISBI Bandung
MACAKATA.COM –
Di birunya, aku berguru
Pada sesuatu yang jauh
Namun dekat. Ia memiliki nama
Yang akbar, dan ia memiliki
Karib bernama nelayan,
dan suka berpelukan dengan pesisir
Ssst, diamlah sejenak izinkan
Aku menoreh namamu, di sekujur
Tubuhmu, sebelum tubuh itu digerayangi
Lengan-lengan asing.
Mungkin saja, kami akan senantiasa
Mengambil wudhu dari palung terdalammu. Rukuk bersama roh pelaut
Yang bertapa di kedalamanmu.
Rahasiakan sajak ini, pada daratan
Namun luka selalu memiliki siasat
Untuk tenggelam bersama laut.
Aku ingin bergabung dengan keringat
Nelayan, bersembahyang bersama pasir-pasir, dan menjadi bagian dari gemuruh kerongkonganmu. Diam-diam sajak ini memperhatikanmu, di sebuah sudut yang tidak bisa ketahui. Di balik punggung perahu kayu – tanpa layar.
Dari Buah Batu, sajak ini mengabadikanmu. Mungkin abadi dan menjadi noktah.
Mata kata ini menatapmu di Dewi Asri:
Yanti Heriyawati menceritakan siluet perempuan pesisir, dua aktor berjalan berdampingan di tengah pusar laut, berhikayat jika istri sang nelayan yang sedang menunggu salah satu awak kapal perahu yang didalamnya ada pujaannya, harus sampai dengan selamat ke daratan. Ia menunggu, sampai bulan bersedih. Ia ingin menyambut pujaannya. Dan menjadi batas penjaga ruhani di pesisir. Ari Sakti dan Hanny menuju ke matahari terbenam. Heriyawati menuju laut sebagai tanda cinta akbarnya. Aretra, putri duyungku, putri pesisirku, putri bagi segala kata-kataku, menari memeluk laut. Perempuan Pesisir adalah wakil Tuhan di lautan yang tak bertepi itu.
Sajak ini juga duduk bersila di pesisir, memperhatikan Een Herdiani, membawa tarian kegembiraan di bawah langit biru dan kepak burung-burung di Karawang yang jauh. Yang termaktub pada Tarian Mapag Pamayang, penari itu bernama Sitti melayang-layang di atas perahu. Menyambut para nelayan sehabis ibadah ikan-ikan. Tuhan merahmati-Nya.
Sajak ini juga menyambut syair-syair pesisir yang dilafadzkan oleh Afri Wita di bawah mega-mega, berhamburan bagai butir-butir mata air ke tengah amuk samudra itu. Syairnya bergumam dan mengunyah segala yang diresahkan mahluk bernama lautan.
Kuping sajak ini juga mendengar nada dari jauh, dari tanah Flores, Singging Flores, dari musikus Ivan Nestorman meruah dan meruqyah batin timur. Kubayangkan matahari timbul di atas hamparan laut dan barisan bukit-bukit tanah Flores, saat mendengarkan Nestorman. Jari-jari sajak ini, juga ikut memetik gitar dari nada – nada Ampe Badunsanak dari Suryana, Yunaidi, Asril. Lalu Awan tumpah ke dalam secangkir kopiku.
Di arah barat, sajak ini juga ikut bernyanyi dalam kesunyian panjangnya,Wangsa Bahari, dari Caturwati, Ruchimat, Subiantoro
Di bawah sorot lampu ultra violet dari yadi dan Zamzam dan layar laptop Uma, sajak ini terpukau dengan jatuhnya lampu ke atas papan kayu itu seperti kunang-kunang. Sekali lagi kukatakan padamu, aku memperhatikanmu dalam wujud ayat-ayat.
SamudRatu, seperti hendak mengajak Nyai Roro Kidul bangkit dari kursi air nya dan menari bersama Syakira, Azizah,
Rosi,dan Septiani dengan juru panggilnya
Aulia dan Yoseph.
Di antara jeda gerimis tipis dan bunyi sirine kata, sajak ini diberi jubah dari nagari Tuban dan Tuhan memberikan selendang panjang dzikirnya.
Di antara layar hitam. Papan kayu. Dan layar monitor, Bramantyo dan Mufi Mubaroh tampil di depan sajak ini yang sedang menunduk, para perempuan-perempuan berdandan dan berjalan anggun dengan busana Citra Wastra Pesisir Tuban.
Jumara, Munggaran, dan Adinda menari dengan trance di atas pasir-pasir putih, sajak ini gembira melihatnya dan tepat ketika daun-daun di luar berguguran. Tari Ma-Rhythm bergerak seperti hendak merengkuh segala bahasa laut.
Krida Sang Jatawang, dari dalang Asep Wadi dan Juru Kawih Fella Fahira memuitiskan wayang pesisir dengan cara pedalang nusantara. Hening sekaligus mistis. Dan kesunyian masih terus berikrar menjaga laut dan manusianya.
Sajak ini juga tak luput menyentuh lukisan dari Artur Nalan setelah berpetualang sampai jauh, Lukisan Bahari, Nalan pelukis itu menggambarkan seluruh nuansa laut dan kegelisahannya. Bumi Nusantara yang Agung. Ia bertekad agar tubuhnya bisa menyatu dengan laut. Dan membiarkan burung-burung laut dan ikan-ikan pasrah masuk ke dalam gerbang imajinasi Nalan. Sajak ini hanya 10 menit di depan lukisan Nalan. Cukup, kata sajak ini, kepadaku.
“Penyair Jean Satria, adakah kau juga akan menuliskan nama-nama panitia itu, yang membantu Ratu Buah-Batumu, di Dewi Asri?” ucap Sajakku sebelum aku keluar dari gedung itu. Aku terdiam.
“Tentu saja, aku akan mendoakan seluruh orang tua mereka yang telah melahirkan mereka. Karena sudah mengorbankan tenaga batinnya untuk setia mengawal Festival ini. Semoga dinaikan derajat dua rakaat oleh Allah yang Agung” balasku. Hening.
Akhirul qalam, adzan shubuh sudah berkumandang. Sajak dan penyair ini pamit undur diri. Ia ingin segera mengetuk pintu rumah dan memeluk orang – orang yang ia cintai di dalam rumah. Sampai berjumpa di ICAS-Fest 2022. ***
***Penulis adalah penyair
dan peraih anugrah buku puisi terpuji
Tahun 2018 dari Yayasan Hari Puisi Indonesia. Buku puisi yang telah terbit
Dari Kota Lama (2012), Pada Debar Akhir Pekan (2017) dan Pelukan Rusuk Pujangga (2021)
Comment here