Oleh: Noha Dian Saputra
Demo Mahasiswa 11 April, Fakta Anak Mengalahkan Orangtua yang Bijak
MACAKATA.COM – Sehari sebelum aksi demo mahasiswa ( mungkin dua belasan jam sebelum aksi demo), para penguasa pemerintah pusat menggelar rapat terbatas (ratas).
Kesimpulan rapat terbatas (ratas) itu yakni menyusun jadwal atau agenda pemilu. Memutuskan Pilpres tetap digelar 24 Februari 2024. Pilkada tetap digelar 24 November 2024.
Ratas itu dilakukan segera, karena aksi unjuk rasa demo mahasiswa (BEM) seluruh Indonesia itu, dianggap bisa mengulang insiden 1998. Kita tau, insiden 98 telah melengserkan Soeharto, yang telah menakhodai Indonesia selama 32 tahun lebih.
Pemerintah pusat dengan kecanggihan teknologinya, juga SDM yang tersusun dan tersebar di berbagai kabupaten/kota se-Indonesia, tentu saja melaporkan informasi gerakan mahasiswa secara masif kepada pimpinan-pimpinan mereka.
Laporan informasi bisik-bisik itu, menimbulkan reaksi cepat, ratas pun digelar. Setelah diambil kesepakatan, tersebar lewat akun-akun sosial media, mengumumkan tak ada penundaan pemilu. Dengan kata lain, tak ada jabatan presiden tiga periode.
Tapi mahasiswa, bukan hanya kaum intelektual yang sedang belajar, mereka pun haus ekspresi dan main-main. Juga pandai membuat konten kreatif. Mereka bukan anak-anak yang tanggung. Mereka tetap teguh pendirian.
Mereka tetap fokus dan ingin turun berunjuk rasa. Mungkin saja demi konten. Hasilnya, mereka beraksi turun ke jalan. Mengabaikan telpon dan arahan dari pihak tertentu, yang mencoba melobi, bernegosiasi, membujuk rayu, agar jangan turun untuk beraksi demo.
Tapi, para mahasiswa ingin tetap berekspresi. Ingin tetap bermain dan beradu argument di jalanan. Berteriak sekuat nafas. Menyuarakan aspirasi masyarakat. Bukan semata-mata demo-nya, tapi kesenangan tak terkira menorehkan sejarah.
Fakta ini mengingatkan saya sebagai penulis, bahwa orangtua sebijak apapun, sepintar apapun, akan kalah dan tunduk pada anak-anaknya. Keinginan yang teguh, disertai argumentasi dan kelancaran komunikasi anak, meluluhlantakan argumentasi orangtua yang bijak dan pintar sekalipun.
Sehingga, sepintar apapun orangtua pandai dan cerdas, menghadapi gelombang massa yang banyak, pasti akan gentar dan goyah. Logika dan argumentasi sekuat gunung, tak pernah dilirik oleh anak-anak.
Ini sama dengan pengalaman penulis, ketika mengajar anak-anak Paud, anak-anak yang masih balita. Sehebat dan setinggi apapun, saya belajar di bangku kuliah, tetap saja, kalimat dan kata-kata sederhana, yang harus mereka fahami, bukanlah kata-kata dari buku-buku tebal. Idiom dan frasa-frasa yang njelimet susah dimengerti. Kalimat mereka adalah susunan kata-kata sederhana arena bermain di lapangan.
Anak-anak tidak butuh kepintaran dan kebijaksanaan. Ketika mendengar dan mencurigai adanya kebohongan, anak-anak biasanya akan langsung mengetahui lewat kepolosannya.
Sebagai orangtua, saya dan ibunya pernah beberapa kali tunduk pada anak kelas satu sekolah dasar. Dia merengek dan menangis keras. Dia mengancam tidak akan makan dan minum. Tapi, setelah dituruti semua keinginannya, hilang sudah ancaman-ancaman dan teriakan menangis itu.
Itu hampir sama dengan gelombang mahasiswa BEM Seluruh Indonesia, yang merangsek turun ke jalan, menuntut empat hal yang terjadi di negeri ini, termasuk salah satunya, menolak jabatan tiga periode jabatan Presiden.
Mahasiswa dan pemerintah, yang dianalogikan, dengan, antara anak dan orangtua, secara psikologis nyaris sama persis. Meski, saya akui, kalau berhadapan dengan, yang pro tiga periode, tentu saja, menolak setuju dengan pendapat tulisan ini.
Demokrasi, memang selalu ada perbedaan dua pendapat atau lebih.
Tapi, banyak kepentingan terkuak dengan rencana aksi 11 April 2022. Baik sebelum maupun ketika berlangsung, hingga paska usai demo.
Lagi-lagi, di zaman sosial media, era internet ini, unjuk rasa yang nyaris ricuh, dan ada insiden pemukulan akademisi, para pembuat konten telah berjaya-jaya. Kepentingan politik tersalurkan.
Parpol parpol jadi tau, siapa saja mahasiswa atau mahasiswi yang lancar dan pintar bicara di depan publik, serta mampu mempengaruhi banyak orang. Mahasiswa dan mahasiswi yang pandai orasi, besok lusa bisa saja direkrut parpol tertentu.
Jangan heran ketika mahasiswa atau mahasiswi yang vokal dan pandai orasi itu, kemudian jadi kader-kader partai politik, yang handal di kemudian hari.
Yup. Tahapan pemilu tidak berubah. Jadwal Demo 11 April 2022 pun tidak berubah. Semua sama sama telah bergerak mengikuti ritme seperti air mengalir. Juga mengikuti gelombang panas api menyala. Sesuai agendanya.
Pemilu presiden digelar Februari 2024. Pilkada digelar November 2024.
Sebelum itu, tentu saja, Agenda Parpol itu yakni mencari bakat-bakat vokal orasi untuk direkrut menjadi bagian kader parpol, partai politik kini punya bahan dan gambaran. Kendaraan Partai Politik butuh generasi baru yang lebih milenial. Partai-partai butuh SDM yang mumpuni dan berani bicara dengan kepandaian dialektika dan kepintaran berlogika. Serta mampu menyulut emosi massa. (****)
Penulis adalah mahasiswa Majalengka. Penyuka bacaan fiksi ilmiah. Penggemar buku-buku politik. Pengelola rumah baca.
Comment here